Potret Kehidupan
Durasi Baca: 3-4 Menit
Sempurna sudah mentari duduki
singgasananya. Menyinari alam semesta ini begitu terik, menyarukan. Sinarnya
memantul pada telaga bening dengan menawarkan kilau keemasan, juga membuat mata
elok. Secercah awan menemaninya dengan senyum sendiri. Desir angin berbisik
bersama alunan berita langit membawa sepotong episode kehidupan.
Terlihat seribu gembel yang sedang
berdansa ria di jalanan yang ditemani dengan simfoni nyanyian hati. Dengan
tergopoh, menyusuri jalan, mengais bersama sampah, bau busuk karibnya. Mandi
keringat, banting tulang merupakan hal lumrah yang mereka lakukan, meskipun
hanya untuk bertahan hidup. Tidak bertahan lama, sebagian dari mereka terbuang
dan menyisakan sebagian yang lain. Begitu mudah tersingkirkan.
Di pertigaan jalan sana, seorang gembel
dengan pakaiannya yang lusuh, muka kusam, dan bau badan, sedang berusaha untuk
menjumpai takdirnya. Ia bernama Lubit, gambaran sampah jalanan yang mengais
derita. Di kala lampu berwarna merah, ia tempelkan wajahnya pada kilat kaca
mobil sembari berkata: “Tuan, berikan hamba beberapa keping untuk makan”.
Diabaikan, ia berpindah ke kaca mobil yang lain. Begitu selanjutnya, ketika
lampu berwarna merah, ia bergelut ke jalanan, dan ketika lampu berwarna hijau,
dengan tergesa ia menghindar dari lindasan roda-roda mobil penghantar maut itu.
Di pertigaan jalan yang lain, Hendar. Gembel
yang terlepas dari takdirnya. Gembel yang hampir kehilangan arah. Bermodalkan
botol plastik yang berisikan beras, ia dendangkan melodi indah dari lubuk hati
terdalam. Mengharap simpati mereka.
Orang Pinggiran, Oh…
Di terik mentari…
Di jalan becek…
Menyanyi dan menari…
Srek srek,
Lagu merduku, teralun indah untukmu.
Di pengkolan sana, merupakan tempat
kami bertukar keringat, bertukar rasa peluh.
“Hei, dapat berapa perak kau, Bit?”
“Tidak seperak pun, yang kudapat malah
cacian-cacian yang menusuk hati. Sakit sekali hatiku ini”
“Ah kau ini, seperti anak kecil saja.
Sudah berapa lama kau tinggal di jalanan? Sabarlah, asal kau tahu, hal-hal yang
menyakitkanlah yang membuat kita semakin dewasa. Jika kau tidak sabar, itu
tandanya kau menolak atas pendewasaan pada dirimu. Atau mungkin kau salah
memaknainya? Berilah makna baru untuk hal itu, dengan begitu kau pasti akan
terbiasa”
“Astaga, sejak kapan kau bijak seperti
ini? Haha”
“Sial kau!”
“Tetapi, benar juga sih, Dar. Aku harus
lebih sabar lagi ke depannya”
“Nah! Begitu dong…”
Mereka pun kembali ke dalam lingkaran
dengan penuh asa. Kembali lagi merangkak, menjerit, berteriak, dan
berputar-putar. Setelah kemudian rasa peluh itu datang kembali nanti, mereka
merapat ke pinggiran lagi. Pulang.
Kala senja menyingsing, dan mentari
mulai sirna. Senantiasa menghadirkan nuansa jingga di tepi barat. Jingga yang
menyisakan isak tangis dalam hati. Hembusan angin yang menyelinapkan berjuta
rasa dalam jiwa. Di senja yang teduh, seteduh tatapan mata seorang ayah pada
keluarganya tercinta.
-x-X-x-
Sayup-sayup suara azan maghrib saling
sahut-menyahut. Hanya sekejap, serdadu gamis putih menyerbu masjid-masjid
setempat. Di bagian lain, orang-orang berbondong-bondong keluar dari pabrik
untuk pulang setelah seharian membanting tulang. Bagian lainnya lagi, seorang
bayi sedang menangis meminta manja dari bundanya. Tetapi disini, gembel-gembel
itu membisu. Sunyi. Raganya berbaring, tetapi angan ingin sekali meraih mimpi.
Mimpi yang masih menjadi bagian cerita di esok hari.
Langit-langitlah yang menjadi saksi
bisu atas semua yang terjadi pada kehidupan yang fana ini. Akhirnya Lubit pun
tiba di istananya. Hanya sebuah istana yang beratapkan langit, dan bersekatkan
kardus-kardus bekas. Ia yang pulang dengan tangan hampa, mendapati istrinya yang
sedang terlelap tidur, Nadia. Ia menangis seketika, menjeritlah hati ini.
Jeritan yang penuh dengan penyesalan. Lalu ia berdoa pada Tuhan.
Wahai Tuhan,
Telah sampailah aku di malam-Mu.
Setelah usang kubertebaran di bumi kala
siang-Mu.
Laksana angin yang menerpa embun, jatuh
jernih terisap tanah.
Terasa letih diriku ini berjalan.
Berlapis debu tubuhku perlahan.
Pudarnya senja berikanku teguran.
Untuk bersujud angankan ampunan.
Wahai Tuhan,
Tahukah kau apa yang sesungguhnya hari
ini terjadi?
Lihatkah kau apa yang tubuh ini kerjai?
Sungguh amat terasa diri ini merugi.
Wahai Tuhan,
Aku belum dapat bahagiakan orang
tercinta.
Aku belum sempat untuk bawakan mereka
gembira.
Aku hanya mampu beri mereka
potongan-potongan elegi.
Wahai Tuhan,
Atas kuasa-Mu ampuni siang kami tadi.
Mungkin tuhan tidak akan menjawab.
Mungkin ia tidak membutuhkan jawaban atas itu. Sudah berulang kali ia berharap,
hatinya menjerit. Namun, kata-kata itu bagaikan tidak memiliki makna bagi-Nya.
Lubit pun duduk di pelataran sandaran
pohon jati yang mewangi, tempatnya menanam harapan-harapannya yang berharap itu
akan terjadi. Sejenak bersandar, sekedar pelipur lara, sejenak. Akhirnya
badannya tergolek lemah, bertikarkan debu halus yang melekat erat pada tanah.
Hati kecilnya berkata: “Malam, izinkan aku terlelap sebentar. Aku berjanji akan
berjumpa lagi dengan pagi. Ia ingin sekali menitip secarik pesan untukmu,
tentang dilema hidup yang masih menjadi teka-teki misterius. Mencarimu,
melaluiku”.
Pada malam itu, rembulan lupa untuk memberikan
pelitanya. Desir angin pun enggan berbisik menyapa daun. Akar sunyi, menjalar
dan berkelabat. Semesta seolah-olah tidak berputar pada malam itu.
Lihatlah! Di pertigaan jalan kelok itu,
bocah perempuan cantik nan hijau bagaikan rerumputan di pegunungan yang
gersang, masih setia menanti senyum tuan dan nyonya berbalas ramah. Malam yang
kelam mengajarkannya untuk memberikan rona senyuman menggelitik.
Pinta-pinta bocah itu pada siapa saja
yang iba kepadanya. Pada jalanan, ia menari dan juga bernyanyi menggoda hati.
Berharap satu atau barangkali dua perak lebih.
Di relung malam, bocah itu tersenyum.
Malaikat-malaikat penjaga menatapnya dari langit. Berbisik halus hingga
terdengar sampai di lubuk hatinya: “Tidurlah, sayang, tidur. Biarkan mimpi
indahmu bercerita lagi di esok hari”.
Berita langit telah bersua pada hari
itu, terangkai istimewa dalam untaian cerita yang tercuri entah oleh siapa.
Mengisahkan tentang aku, dia, dan mereka.
jepretannya keren mas hehe
BalasHapusMaaf saya lupa menyantumkan sumber hehe.
HapusFoto tersebut saya ambil dari google images lalu saya kolase sendiri.
Tata bahasanya keren banget Mas...
BalasHapusTerima Kasih :)
HapusTulisannya nyastra banget. :) BTW, maaf komentar yang di blogku barusan kehapus. :(
BalasHapusTerima kasih.
HapusHehehe tak apa-apa, Mbak.
"Melancholy with a brink of Phlegmatic"nya terasa banget di artikel yg ini.. hehehe
BalasHapusWaduh, bisa saja nih mas Umar mengaitkannya sampai ke sana hehe.
HapusBagus ni artikelnya mas Awal, menceritakan orang pinggiran dengan bahasa dan sudut pandang yang berbeda :)
BalasHapusMengapa Hendar tidak mengajak Lubit untuk ngamen saja, biarpun belum tentu diberi tapi tidak dimaki-maki hihi :)
Terima kasih, Mbak :)
BalasHapusWah ide bagus tuh, Mbak. Bisa jadi boyband jalanan baru nantinya mereka ya hehehe.
bagus banget bahasanya..
BalasHapusbahkan dari sini aku nmbah kosa kata baru, terus nyari di kbbi
Keren :)
Asik, ada manfaatnya juga ya berarti kak hehe.
HapusTerima kasih ^^
Bagus banget.. Keren deh ceritanya.. Btw ini nyata atau fiksi?
BalasHapusBagus banget.. Keren deh ceritanya.. Btw ini nyata atau fiksi?
BalasHapusTerima kasih. Fiksi, Kak :)
HapusTulisannya bagusss, cuma kalo menurut saya pribadi agak boros dalam hal penggunaan kata.
BalasHapusbut it's a Nice post!. Keep blogging, Salam kenalll!
Terima kasih ya masukanya. Salam kenal juga.
HapusDari semua tulisan udah bagus banget, beda jauh dengan tulisan saya, oh ya untuk kata "gembel" sepertinya harus diperhalus lagi ya,,
BalasHapussalam kenal ya
Ah, merendahnya bisa aja nih bang haha.
HapusTerima kasih atas masukannya ya. Salam kenal juga.
bahasanya ngena bgt. tulisannya juga udah menarik bgt, tapi pas di kata sebutan "gembel" sepertinya bisa di perhalus lagi hehe
BalasHapussalam kenal yah
Terima kasih ya, baik apresiasi maupun masukannya. Salam kenal juga.
HapusTjakep diksi-diksi kamu, Di. Aku minta izin untuk menambah kosa kata aku lewat tulisan ini ya.
BalasHapusPesannya juga tersampaikan. Begitu kejamnya jalanan, susahnya mencari bahagia bagi mereka orang-orang yang tak seberuntung kita, cueknya orang-orang yang lebih mampu daripada mereka. Jujur, gue sedih baca tulisan ini.
Terima kasih, Mas. Silakan hehehe.
HapusWah alhamdulillah banget kalau masih ada yang bisa dapat pesan tersiratnya :D
bacanya asyik. Menarik nih pembahasannya. Pemilihan kata-katanya keren bang. Ditingkatkan... sukses ya...
BalasHapusAamiin. Terima kasih, Mas :)
Hapusdalem juga bro topiknya... anak jalanan.. orang pinggiran..
BalasHapustapi, berhubung gue bacanya nggak bisa cepet.. kayaknya durasi 3-4 menit itu nggak berlaku untuk gue men :")
Hahaha ayo belajar baca cepat :D
Hapusbang apakah gak terlalu berkonotasi kasar(negative) itu kata gembelnya? soalnya saya baperan bang orangnya denger kata gitu aja sedikit kasian sama orang yang aslinya?
BalasHapusHahaha pada awalnya saya memilih kata gembel itu biar menggambarkan kerasnya dunia jalanan aja sih, Bang. Terima kasih ya atas sarannya! :)
Hapuscuma mau bilang artikelnya keren bangget.. saya suka..
BalasHapusvenue sepak bola asian games dulu dan sekarang