Rudy Habibie: Cinta, Filosofi, dan Kepemimpinan
Durasi
Baca: 7-7 Menit
Akhirnya, setelah
sukses menonton film The Conjuring 2 dan Finding Dory, tepat pada Jumat kemarin
(9/7) sekaligus memasuki hari ketiga setelah lebaran, saya bersama Mami dan Adik
saya berhasil menonton film sekuel dari Habibie Ainun yaitu, Rudy Habibie.
Sebuah tontonan yang sudah sepatutnya dijadikan inspirasi bagi generasi muda
saat ini. Terlebih, inspirasi itu datang dari seorang publik figur, seorang
pembelajar, seorang pekerja keras, seorang pemimpin luar biasa, Presiden RI
ke-3, Bacharuddin Jusuf Habibie.
|
with my younger sister |
Jika menilas balik film
Habibie Ainun yang pertama di tahun 2012, tentu akan kita dapati seksama bahwa
terdapat banyak pesan yang ingin coba disampaikan kepada para penontonnya.
Misal, bagaimana seorang Habibie muda berjuang bertahan hidup di negara asing,
berjuang dalam menyelesaikan perkuliahannya, berjuang untuk sukses dalam bidang
yang digelutinya sampai akhirnya berhasil membangun industri dirgantara, bahkan
berjuang untuk mendapatkan seorang teman sehidup semati hehehe. Garis besarnya,
hidup ini adalah perjuangan. Kemarin adalah perjuangan, hari ini adalah
perjuangan, esok pun perjuangan akan senantiasa ada.
Pada film yang kedua
ini pun, Hanung Bramantyo, selaku sutradara bisa dikatakan berhasil
menghadirkan sebuah film inspirasi yang apik. Saya sendiri sedari awal begitu
menyimak bagaimana jalannya cerita dan pesan-pesan tersirat yang sekiranya bisa
untuk diteladani dari sesosok Habibie. Alhasil, selama kurang lebih 142 menit
film berlangsung, saya mendapati terdapat tiga pesan penting yang bisa
dijadikan renungan bersama. Apa saja tiga pesan tersebut? Let me tell you
they are.
1.
Cinta.
Dalam
film ini, perihal cinta bisa dilihat dari dua perspektif berbeda. Karena cinta
itu tidak melulu soal lawan jenis, bukan? Kedua itu adalah cinta seorang
Habibie terhadap keluarganya dan cinta kepada seorang wanita. Cinta yang
menjadi pewarna dalam hidupnya ketika di Jerman.
Pertama,
cinta Habibie kepada keluarganya. Untuk bertahan hidup di negara orang tentu
tidak semudah yang kita bayangkan. Hal tersebut tergambar bagaimana cukup
peliknya masa awal hidup Habibie di Eropa Barat sana. Berjalan jauh ke bank
untuk mencairkan kiriman uang dari ibunya di Indonesia, namun yang didapati
hanyalah kiriman yang belum sampai. Lalu ia memutuskan untuk menelepon ibunya.
Setelah mengetahui bahwa kondisi keuangan di Indonesia sedang tidak stabil
sehingga memengaruhi keuangan keluarganya, Habibie bersikap legowo akan hal itu
dan mencari cara lain untuk bisa sekadar makan, bertahan hidup.
Berbeda
dengan kita, bahkan saya sendiri pun termasuk, ketika uang kiriman belum sampai
atau barangkali telat sehari saja, sudah pusing tujuh keliling bagaimana harus
menyikapinya. Tentu hal itu bisa menjadi pelajaran bagi generasi muda saat ini.
Bagaimana kecintaan seorang Habibie kepada keluarganya berpengaruh kepada sikap
yang diambil dan bisa dinilai pilihan yang bijak.
Kedua,
kecintaan Habibie kepada seorang wanita. Bukan Ainun, melainkan seorang wanita
berasal dari Polandia bernama Ilona. Kisah cinta lain dari seorang Rudy Habibie
jauh sebelum menemukan cinta sejatinya, Almarhumah Ainun. Kisah yang terbilang
cukup unik. Konflik datang lebih dulu dari pihak keluarga Habibie, ibunya
mengarahkan agar Ilona bersedia pindah agama dan kebangsaan jika benar-benar
mencintai Habibie.
Tidak
selesai sampai di situ, Habibie kembali dihadapkan dengan sebuah dilematika,
antara harus ikut ke Kota Bonn menemani Ilona atau memilih mewujudkan
mimpi-mimpinya untuk Indonesia tercinta. Duh, mungkin kalau kita yang
berada di posisi itu sudah galau enggak ketulungan kali ya hehehe.
Pada
akhirnya, Habibie lebih memilih untuk mewujudkan mimpinya. Hal itu disebabkan
oleh pertemuannya dengan salah satu rekannya di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI)
Aachen yang ternyata merupakan seorang pendeta pada gereja yang selalu Habibie
pakai untuk singgah istirahat sementara dan bahkan shalat. Pendeta tersebut
berkata,
“Kamu lebih memilih yang kamu butuh atau
memilih banyak orang membutuhkanmu?”
2.
Filosofi.
“Kalau kamu baik, maka
lingkungan di sekitarmu juga akan ikut baik.
Tetapi kalau kamu kotor, lingkungan di sekitarmu pun nantinya akan mati, tak
ada kehidupan.”
-Filosofi Mata Air-
Begitulah
bunyi nasihat yang diberikan oleh Papinya kepada Habibie kecil. Betapa Papinya
begitu mendambakan bahwa suatu saat nanti Habibie bisa menjadi ‘mata air’ bagi
banyak orang. Karena jika dipikir lagi lebih matang, benar adanya kalau mata
air ini memengaruhi air yang ada di sekitarnya. Jadi secara tidak langsung
Papinya berpesan agar suatu saat nanti Habibie menjadi orang yang bisa berpengaruh
bagi siapa saja. Petuah itulah yang terus membayangi dan menemani Habibie
hingga sekarang ini.
Masih
kurang lengkap akan penjelasan dari filosofi mata air ini. Sekali lagi pendeta
yang merupakan Habibie di PPI Aachen berbagi pendapat. Ia berkata, “Ingat, mata
air yang jernih itu hasil gejolak yang luar biasa dari dalam tanah.” Saya
sendiri mencoba menafsirkan pendapat tersebut bahwasanya untuk menjadi
seseorang yang benar-benar ‘orang’ itu, pasti akan banyak sekali lika-liku dan
rintangan yang menguji. Sebesar apa kuat kita dalam menghadapinya, semakin
jadilah kita ‘orang’ yang dimaksud. Sebesar apa gejolak dalam tanah yang
terjadi, semakin jernih pula mata air yang tercipta.
3.
Kepemimpinan.
Jika kita
merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bisa kita dapatkan bahwa
arti kata pemimpin adalah orang yang memimpin. Pertanyaannya, siapa yang memimpin
dan siapa yang dipimpin? Pertama, siapa yang memimpin. Sebagaimana pengertian
KBBI tadi, tentu yang mengambil peran dalam hal memimpin ialah seorang
pemimpin.
Lalu
siapakah yang akan dipimpin oleh seorang pemimpin? Ya, orang lain. Sejatinya
seorang pemimpin, ia harus bisa memimpin segelintir banyak orang yang bisa
dipastikan berbeda-beda wataknya. Bahkan bukan sekadar bisa sembarang bisa, tetapi
juga mampu mengarahkan sekumpulan orang tersebut untuk mencapai visi dari organisasi
yang diusung sejak awal.
Habibie pernah
menjadi ketua PPI Aachen. Bersama visi yang dibawanya, ia mencoba mengerahkan
rekan-rekannya untuk bisa ikut berkontribusi merealisasikannya. Dalam proses
merealisasikannya, masalah datang silih berganti. Barulah jiwa seorang pemimpin
di sini diuji. Hebatnya, Habibie mampu menyelesaikan masalah dengan caranya
sendiri. Ia menggunakan formula “Fakta-Masalah-Solusi” yang bisa dijadikan
inspirasi bagi kita dalam kemampuan problem solving.
Selain
itu, masih ada satu pelajaran penting dari karakter seorang Habibie dalam
memimpin. Momen yang membuat saya merinding terharu. Ketika Ayahnya meninggal
dalam keadaan sujud, Habibie yang menggantikannya menjadi imam shalat. Tindakan
seorang anak laki-laki yang menggantikan peran Ayahnya sebagai kepala keluarga –dalam
hal tadi menjadi imam shalat. Menurut saya, sungguh luar biasa tindakan itu.
Namun,
harus kita ketahui bahwa sejatinya pemimpin itu tidak melulu berbicara tentang
memimpin orang lain, tetapi juga memimpin diri sendiri. Apa yang akan terjadi
ketika diri kita sendiri tidak dipimpin? Bisa dipastikan akan menjadi tidak mudah
dalam memimpin orang lain.
Siapa yang
menanam, dia yang menuai. Apa yang diusahakannya, itulah yang nantinya akan
didapat. Jika Habibie tak mampu memimpin dirinya sendiri, mungkin saja antara
cinta, organisasi, bahkan pendidikannya akan ada yang terbengkalai.
Mimpi-mimpinya tidak terwujud. Tetapi, Habibie berhasil memimpin dirinya
sendiri sehingga apa yang diusahakannya pun menuai hasil memuaskan.
Kalau
ditanya, siapa sosok yang menginspirasi di Indonesia? Maka Rudy Habibie
termasuk di dalamnya. Tambahkan jawabannya, Habibie dengan cintanya, Habibie
dengan filosofi mata airnya, Habibie dengan jiwa kepemimpinannya. Lewat film
kedua ini, saya mendapatkan pelajaran akan tiga hal tersebut.
Untuk
itu, film Habibie Ainun 3 layak menjadi salah satu film yang ditunggu
tayangnya.
RATING.
8.7/10. Big appreciation
for this inspiring movie one.
16 comments: