Success Is My Right (eps 03)

23.30 Awaldi Rahman 0 Comments


Sungguh beruntung nasibku, predikatku di SMA yang terkenal dengan prestasinya yang banyak, mampu menghantarkanku ke perguruan tinggi terkenal, Universitas Korea. Untuk biayanya, setiap hari aku harus berjuang menjadi seorang tukang sapu jalanan. Mungkin hanya itulah satu-satunya cara agar aku bisa tetap kuliah.
Bagaimana dengan hasil ujian nasionalku ketika SMA? Astaga, mengenai hal itu aku sangat bersyukur sekali. Lagi-lagi aku berhasil mendapatkan nilai rata-rata tertinggi di sekolah, lalu diikuti oleh sahabatku, Lee yang berada di peringkat kedua.
Perjuangan keras yang selama ini aku dan Lee lakukan, membuahkan hasil yang membanggakan. Aku dan Lee percaya bahwa setiap hasil yang didapat, pasti sebanding dengan usaha yang ia lakukan. Oleh karena itu, aku dan Lee benar-benar memanfaatkan waktu luang untuk diskusi bersama.
Bicara tentang Lee, sahabatku. Ia sudah hijrah ke kota Berlin tiga pekan yang lalu. Sesuai dengan perkataanya bahwa ia akan pindah setelah ujian nasional nanti. Dan beruntunglah aku pada saat sebelum kepergian Lee, aku ditemani Ayah dan Ibu masih bisa menghantarkannya hingga bandara yang ada di ibukota. Lee berjanji padaku akan berkunjung kembali kesini setelah ia sukses menjadi manajer perusahaan besar. Lalu Lee pun pergi, sahabat terbaikku pergi.
Di Berlin sana, kabarnya Lee aktif di berbagai organisasi di kampusnya. Begitu juga denganku, saat kuliah inilah awal mula titik balik hidupku. Aku mulai berkenalan dengan dunia politik, menjadi anggota dewan mahasiswa, hingga aku ditarik menjadi salah satu pekerja di pabrik kendaraan ternama. Meskipun hanya seorang pekerja, semua itu kujalani dengan sepenuh hati.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
10 Tahun Kemudian,
Kemampuanku mengundang perhatian dari seluruh pekerja pabrik, hingga terdengarlah berita itu kepada pendiri pabrik. Tanpa harus berpikir panjang, pendiri pabrik tersebut dengan beraninya memposisikanku di divisi konstruksi. Sungguh, aku terkejut seketika saat mendengar berita itu. Bukan karena aku takut akan posisi itu, melainkan amanah yang akan kutanggung akan lebih berat lagi.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
20 Tahun Kemudian,
Setelah sekian lama aku bekerja di pabrik, kini aku menapaki kembali dunia politik. Pada tahun itu juga aku tercatat sebagai anggota dewan, dan meninggalkan dunia konstruksi. Semua itu dengan harapan agar cita-citaku dulu bisa terwujud dan menjadi kenyataan.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
10 Tahun Kemudian,
Kini aku menjadi seorang tokoh yang paling dipandang di kota Seoul. Ya, sudah selayaknya seorang walikota suatu kota itu dipandang, karena interaksi langsung kepada masyarakat pasti terjadi disana. Dan satu langkah lagi cita-citaku akan terwujud, menjadi orang nomor satu di Korea Selatan.
Dan yang mengejutkan pada tahun itu adalah kedatangan Lee, sahabatku datang jauh dari Berlin sana. Sungguh ia datang dengan membawa kabar baik. Kini dirinya telah menjadi seorang manajer di sebuah perusahaan minyak di Berlin. Ia terlihat lebih gagah, tampan dan lebih mapan seperti kedua orang tuanya. Sayangnya, pertemuan itu hanya singkat. Lee harus pulang kembali ke Berlin karena mempunyai urusan lain yang lebih penting.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
5 Tahun Kemudian,
Aku sangat bahagia sekali. Aku yang masa kecilnya sangat miskin itu, kini menjadi orang nomor satu di Korea selatan. Hidupku mulai dari kemelaratan yang luar biasa hingga menjadi seorang presiden seperti yang terjadi saat ini. Sebuah pembuktian bahwa cinta, perjuangan dan keyakinan itu dapat menaklukan segalanya. Dan setiap orang itu memanglah berhak untuk hidup sukses.
Aku sangat berterima kasih kepada Ayah dan Ibuku yang selalu menasihati, membimbing dan menuntunku menuju jalan yang terbaik. Juga untuk sahabat seperjuanganku, Lee. Kini saatnya aku yang berkunjung ke perusahaan minyak terbaikmu di Berlin. Lee, aku sukses, aku seorang presiden.

0 comments:

Success Is My Right (eps 02)

11.36 Awaldi Rahman 0 Comments


Selepas kenaikan kelas dua. Ayah dan Ibu memutuskan untuk pindah ke ibukota, Seol. Dengan harapan kehidupan mereka akan jauh lebih baik. Namun, setelah dua minggu tinggal disini, nasib orang tuanya tetaplah terpuruk, menjadi penjual sayur di jalanan.
Saat itu juga, aku memutuskan untuk lepas dari orang tua, dan bekerja menjadi buruh bangunan. Cukup sudah aku membuat mereka susah selama ini. Sudah saatnya aku berlaku dewasa, berpikir ke depan. Menyongsong masa depan yang cerah. Dan pada saat itu juga aku bercita-cita menjadi seorang pegawai.
Tahun pertamaku di SMA berjalan dengan lancar. Pada awal-awal tahun aku cenderung menyendiri dan menjauh dari anak-anak lain. Namun, pada pertengahan tahun aku sudah mulai bisa bergaul dengan yang lain. Begitu juga pada prestasi yang telah kuraih, salah satunya adalah juara satu karya tulis ilmiah mengenai cara kerja mesin pada sebuah transportasi. Prestasi yang cukup bergengsi di sekolahku. Prestasi itu kutorehkan sebagai penutup tahun ajaran.
Begitu juga dengan tahun kedua. Prestasi-prestasi lain dengan mudah kudapatkan. Aku selalu ditunjuk, dan berhasil meraih kemenangan itu dengan mudah setelah berusaha keras. Selain itu aku juga terpilih menjadi ketua OSIS sekaligus ketua kelas di sekolah. Mengemban amanah yang cukup banyak. Tidak mudah, tetapi kucoba jalani. Oleh sebab itu, aku menjadi murid kepercayaan para guru di sekolah.
Dan kini, ujian nasional SMA hanya tinggal tiga hari lagi. Seluruh pengorbanan atas waktu yang selama ini aku habiskan untuk menuntut ilmu, akan segera terbayar. Dan pengorbanan para guru-guruku yang pantang menyerah akan memberikan ilmu yang bermanfaat bagiku akan membuat kabar-kabar baik itu datang tentunya. Aku percaya itu.
“Man, pulang bareng yuk?!” Tiba-tiba ajak Lee salah satu sahabatku yang memecah lamunanku.
“Okedeh, ayo!!!” Balasku semangat.
Dengan cepat aku bergegas bangun. Lalu beranjak pulang meninggalkan sekolah bersama Lee. Seperti biasa, selepas pelajaran tambahan aku dan Lee selalu pulang bersama. Saling bertukar cerita selama di perjalanan, baik itu cerita sedih, senang, tentang rencana kuliah, masa depan, sampai masalah keluarga. Begitu akrab aku dengan Lee, begitu juga dengan keluarganya. Baik sekali kepadaku.
“Man, kamu ada rencana untuk kuliah tidak?” Tanya Lee membuka percakapan di perjalanan pulang ini.
“Ada siiih, tapi kamu juga mengertilah. Tahu. Bagaimana kondisi keuangan kedua orang tuaku. Sebelumnya maaf, bukannya aku bermaksud untuk sombong, Lee. Aku bisa melanjutkan sekolah hingga sekarang ini saja, itu karena aku mendapatkan beasiswa penuh. Entahlah, akan menjadi apa kelak, jikalau aku tidak mendapatkan beasiswa itu. Bisa saja aku akan menjadi penjual koran, pengemis mungkin, atau pengamen yang menjual suara indahnya demi mendapatkan beberapa suap nasi. Bisa saja kan?” Jawabku panjang lebar lalu balik bertanya.
“Iya juga siiiiih” Jawab Lee pendek.
“Kamu sendiri rencana kuliah dimana, Lee?”
“Rencananya, aku akan kuliah di eropa sana, Man. Prospek kerja Ayahku akan dipindahkan ke Berlin, Jerman. Dalam waktu dekat ini. Mungkin setelah ujian nasional besok. Mau tidak mau pasti aku akan ikut kesana. Kecil kemungkinan untuk menetap disini”
“Kamu beruntung sekali, Lee. Terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Bahkan bisa dibilang lebih. Nah, sedangkan aku?”
“Huuuuush!!! Jangan begitu kamu, Man. Bersyukurlah dengan keadaanmu yang sekarang. Bagaimanapun juga kedua orang tuamu itu telah bersusah payah mencari nafkah, hingga sampai saat ini, untuk mencukupi kebutuhanmu juga kan?”
“Iya juga siiih. Huh”
“Sudahlah, Man. Jalanilah hidup ini dengan santai. Hadapi saja rintangan yang ada dengan senyuman. Semua akan terlihat dan terasa lebih indah jika dibalas dengan senyuman bukan? Biarkanlah hal yang sudah terjadi berlalu bagai angin yang berhembus, dan sudah waktunya kita tatap masa depan yang cerah dengan penuh keyakinan. Kita tatap ujian nasional esok dengan penuh keyakinan, Man! Oke Pak Presiden?” Kata Lee disambung dengan canda kepada Kerman.
“Oke deh Pak Manajer!” Jawab Kerman sembari berjabat tangan sebagai tanda sepakat dengan Lee.
“Hahahaha” Kami tertawa bersama.
Tidak terasa kami berjalan sudah cukup jauh. Menara sekolah yang terbilang tinggi itu pun sudah tidak terlihat lagi. mungkin kami terlalu asik dalam pembicaraan selama diperjalanan pulang ini, sehingga benar-benar tidak terasa bahwa kami sudah setengah jalan.
“Oiya Lee, bagaimana nih persiapan untuk ujian nasionalmu? Kan tinggal beberapa hari lagi tuh” Tanya Kerman.
“Udah siap dong, Man. Hanya tinggal ikhtiarnya saja deh. Gimana dengan kamu sendiri?”
“Siap banget! Sudah tidak sabar lagi aku, Lee. Hahahaaa...” Jawab Kerman semangat.
“Wah...wah...hebat deh kamu, Man. Semoga saja kita mendapatkan hasil yang terbaik yah. Supaya mudah untuk kuliahnyaaa...”
“Benar banget, Lee. Semoga saja begitu”
Tanpa disadari, doa-doa mereka tergantung di birunya langit, tergantung bersama dengan doa-doa berjuta jiwa lainnya. Dan tanpa mereka sadari juga, seluruh alam semesta beserta penciptanya sepakat untuk mengabulkan permintaan mereka berdua.
Tertiba saja angin berhembus kencang. Membuat pepohonan dan rerumputan bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Dan tertiba saja langit yang tadinya cerah kini berubah menjadi gelap. Pertanda hujan akan turun dalam waktu dekat.
“Eh Man, sepertinya hujan akan turun nih! Gimana kalau kita lari saja? Daripada kita kehujanan nantinya, jatuh sakit, dan tidak bisa ikut ujian nasional, ya gak?” Kata Lee memberi saran kepada Kerman.
“Ayo deh, Ayo Lee! Haha” Balas Kerman lalu berlari duluan meninggalkan Lee di belakang.
“Waah curang kamu, Man!” Gerutu Lee lalu berlari menyusul Kerman di depan.
“Hahahaha” Kerman menertawakan Lee.
Dan akhirnya mereka berpisah di pertigaan jalan. Kerman tetap berlari lurus, sedangkan Lee berlari belok ke arah kanan. Beruntunglah mereka, hujan baru turun tepat saat mereka menginjakkan kaki di teras rumah mereka masing-masing, jadi mereka tidak kebasahan sedikit pun. Selamat.
Begitulah persahabatan Kerman dan Lee. Saling menghiasi satu sama lain, saling melengkapi, dan saling menghargai. Itulah yang membuat hidup mereka tidak monoton, membuat hidup mereka lebih berwarna, dan menjadi lebih indah lagi. Bagi mereka, persahabatan itu dapat melipat gandakan kebahagiaan dan mengurangi kesedihan di antara mereka berdua. Dan seharusnya persahabatan memanglah begitu.
*~*~*~*~*~*~*~*~*

0 comments:

Success Is My Right (eps 01)

08.28 Awaldi Rahman 1 Comments


“Hei Man! Sudah dululah belajarnya, hampir 6 jam kau terus-terusan belajar. Lupa mandi, lupa minum. Ayolah kita makan malam bersama”
“Baik bu...” Jawabku tanpa membantah perintahnya.
Tentu saja aku tidak akan membantahnya, aku tidak memakan selain ampas gandum semenjak sarapan pagi tadi. Ya, hanya itu. Aku pun bergegas berkumpul bersama Ayah dan Ibu di tempat biasa kami makan bersama.
“Man, kamu serius ingin melanjutkan sekolahmu ke tingkat SMA?” Tanya Ayah saat makan bersama.
“Iya yah, akuu ingin sekali melanjutkan jenjang sekolahku ke yang lebih tinggi lagi” Jawabku dengan lantang.
“Tapiii...”
“Tapi kenapa yah?” Tanyaku penuh rasa penasaran karena wajah Ayah tertiba saja berubah.
“Ya kamu juga tahu bagaiman kondisi Ayah dan Ibu saat ini, kondisi keuangan kita, kondisi keluarga kita. Bahkan makanpun kita hanya memakan ampas gandum. Itupun hanya dua kali sehari”
“Jadiii... Aku tidak bisa melanjutkan sekolah lagi, Yah?” Tanyaku sedikit memelas.
“Bukan begitu maksud Ayah. Kamu bisa melanjutkan sekolah, tetapi masalah biaya Ayah dan Ibu angkat tangan” Jawab Ayah terus terang.
“..............”
“Jalanmu masih banyak, Man. Satu  pintu tertutup maka pintu-pintu lainnya siap menyambut kedatanganmu. Cobalah saja dulu. Apalagi kamu termasuk anak berprestasi di sekolah. Jalur beasisiwa pun bisa saja kamu dapatkan asalkan berusaha. Katanyaa mau banget jadi presideeen” Kata ibu yang mencoba membuka jalan pikiran Kerman.
“Apa iya aku bisa, Bu?” Tanyaku masih kurang yakin.
“Tentu saja kamu bisa, sayang. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Layaknya Thomas Alfa Edison yang telah beratus-ratus kali gagal menciptakan sebuah lampu. Namun, pada percobaan ke-1001 kali, barulah ia berhasil menciptakannya. Berusaha mencintai apa yang ingin dicapai, lalu ditambah dengan perjuangan keras dan keyakinan. Akhirnya keinginannya tercapai tanpa sia-sia dan hingga saat ini namanya dikenang, dan hingga saat ini juga hasil penemuannya masih bisa kita rasakan. Ingat Man! Intinya ada tiga yang harus kamu lakukan dan taklukan. Cinta-Perjuangan-Yakin” Jawab Ibu panjang lebar.
“Ayah sangat berharap kelak nanti kamu tidak akan seperti Ayah saat ini, tetapi kamu bisa jadi orang yang sukses dan bisa memimpin untuk kemajuan negara” Sambung Ayah.
Aku hanya bisa termanggut-manggut dan akan merenungkan perkataan Ayah dan Ibu sebelum tidur nanti.
Percakapan singkat itu telah usai.
Ayah bergegas bangun dan masuk ke kamarnya. Begitu juga dengan Ibu, ia sibuk membersihkan tempat makan bersama tadi. Lalu aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan melanjutkan belajar.
Sesampainya di kamar, aku bergelut kembali dengan tumpukan-tumpukan buku pelajaran. Cukup banyak. Hal ini memang haruslah dilakukan, bahkan dipaksakan. Jika beasiswanya hanya jalan satu-satunya bagiku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, maka inilah salah satu bentuk usahaku untuk mendapatkan besiswa itu.
Waktuku untuk mempersiapkan semuanya hanya tinggal seminggu lagi. Pekan depan.
Tidak terasa kini malam mulai larut. Sudah saatnya aku bergegas untuk tidur. Ibu pernah berkata bahwa tidur terlalu larut itu tidak baik, akan mengganggu aktifitas kita esok harinya. Jadi, lebih baik aku mendengar kata-kata Ibu daripada konsentrasiku hilang seketika saat belajar di sekolah besok.
Sayup-sayup angin malam berhembus begitu tenang. Mengetuk setiap jendela rumah penduduk. Memenuhi hingga sudut ruangan yang hampa. Hingga berhembus damai mengahantarkan tidur lelapku.
Sempurna sudah aku terlelap tidur. Terbang dalam buaian jutaan mimpi dan jutaan misteri. Mimpi-mimpi itu tergantung pada indahnya langit dan semua misteri itulah yang akan terjadi kelak. Cepat atau lambat.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
Berita gembira ini harus segera tersampaikan kepada Ayah dan Ibu. Pastilah mereka bahagia mendengarnya.
Aku melengkah lebih cepat, tidak sabar lagi untuk secepatnya tiba di rumah. Membawa kabar baik ini. Astaga, tidak sia-sia aku selalu bergelut dengan buku-buku itu. Kini seluruh usahaku telah terbayar tunai dengan hasil yang kuterima saat ini.
Langit yang tadinya mendung, kini kembali cerah. Burung-burung keluar kembali dari sarangnya. Berkicau nan merdu. Saling sahut-menyahut. Rumout-rumput kembali bergoyang-goyang diterpa angin. Seolah-olah mereka bisa merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini. Bahagia.
Setibanya di rumah, aku langsung mencari dimana Ayah dan Ibu berada. Ternyata mereka sedang membicarakan sesuatu. Urusan keluarga mungkin.
“Yah! Bu! Aku berhasil mendapatkan beasiswa itu. Hahaha” Kataku tanpa basa-basi terlebih dahulu.
“Serius kamu, Man? Wah, selamat yaaa.....” Balas Ayah lalu memelukku.
“Selamat yaa sayang.....” Sambung Ibu lalu bergantian dengan Ayah memelukku.
“Makasih Yah, Makasih Bu. Ini semua juga berkat Ayah dan Ibu yang selalu memberikanku dorongan agar tetap semangat dan terus berusaha”
“Sama-sama, Man...” Jawab Ayah dan Ibu bersamaan.
“Akhirnya tercapai juga jadi anak SMA” Ledek Ayah.
“Apa deh yah?” Balasku.
“Hahahaha” Kami tertawa bersama.
Akhirnya satu kabar baik telah ditampakkan. Satu misteri telah terungkap pada hari itu. Membuat keluarga sederhana itu merasa lebih bahagia akan segala sandiwara yang ada dalam kehidupan yang fana ini.
Aku lulus dengan nilai rata-rata yang hampir sempurna. Berada di peringkat teratas dari 213 peserta yang mengikuti tes. Cukup puas. Melanjutkan sekolah di tingkat SMA dengan mendapatkan beasiswa penuh selama tiga tahun. Sebuah prestasi tentunya.
Masa depan yang cerah siap kunanti. Tentunya akan lebih baik lagi dari hari ini.

1 comments:

Simfoni Nyanyian Hati (eps 02)

14.43 Awaldi Rahman 1 Comments


Sudahlah, tiada guna menyalahkan Pak Tua tadi. Mungkin ini salahku juga, terlalu banyak bergurau, lama bersantai, dan membuang-buang waktu. Tidak pantaslah aku terlalu menyalahkan orang tua itu. Astaga, maafkan aku yang telah berbuat dosa padamu Pak Tua.
Kini perjalananku ditemani dengan sebuah senter yang menyibak gelap dengan cahayanya. Juga suara jangkrik yang membuat perjalanan ini terasa lebih hidup. Ramai. Angin malam berhembus mulai kencang membuat hasrat ingin segera sampai semakin besar. Tatapanku kosong memandang jauh ke depan.
Langkahku tiba-tiba saja terhenti. Bukan karena ada hewan buas yang hendak menerkam, juga bukan karena ada perampok yang ingin merampas barang bawaan, apalagi karena ada hantu yang menakuti, itu juga bukan. Melainkan sangat takjub dan begitu terpana. Didepanku kini terdapat sebuah desa yang tidak kalah indahnya dengan perkotaan di negeri jauh sana.
Kupukuli, kucubiti pipiku. Sakit. Ternyata ini bukan mimpi, melainkan sungguh nyata terjadi. Alangkah indahnya desa ini, bak taman yang ada di surga. Belum pernah kulihat sekalipun. Senang sekali melihat ini semua dengan mata kepala sendiri, meskipun menyisakan sedikit rasa sesal karena menyumpahi Pak Tua tadi. Bagaimana tidak menyesal? Desa ini kutemukan hanya sepelemparan batu dari tempat dimana aku menyumpahi Pak Tua itu. Sekali lagi maafkan aku Pak Tua, aku benar-benar menyesal.
Suasana hening seketika. Bintang-bintang dengan indah membentuk jutaan formasi, juga ditemani dewi malam yang setia menerangi dengan cahaya nyatanya dari gelap gulita. Tidak mau kalah, kerlap-kerlip ribuan kunang-kunang membuat semua menjadi lebih indah. Aku benar-benar tertegun oleh semua ini. Ditambah lagi dengan gapura desa itu. Tegak berdiri menyambut para pendatangnya.
“Astaga, sungguh baru kutemui desa seperti ini selama tujuh tahun aku mengembara. Bahkan, layak saja untuk dibilang pemukiman elite” Gerutuku dalam hati.
Tanpa banyak berpikir, langsung saja kulangkahkan kakiku menuju gapura itu dan masuk ke dalamnya.
Sungguh, Khazam benar-benar tidak tahu bahwa cerita hidupnya akan menjadi lebih rumit lagi. Apalagi jikalau bukan karena cinta? Ya, tentunya setelah potongan-potongan bagian ini.
*~*~*~*~*~*
“Pak Tua?” Kagetku setengah tidak percaya akan bertemu Pak Tua di desa ini.
“Rupanya kau wahai pemuda. Alamak, apakah engkau baru saja tiba di desa ini?”
“Ya, baru saja” Jawabku santai dan tidak ingin menyalahkan Pak Tua atas hal ini. Toh, ini juga salahku sendiri.
“Hahaha, tentu saja itu bukan salahku. Itu karena engkau terlalu mengikuti rasa egomu, banyak bersantai, banyak bergurau, mungkin saja kau juga memaki-makiku. Sebab, kubilang padamu kau akan sampai jauh sebelum matahari terbenam. Benar begitu?” Kata Pak Tua datar.
“I..i..iya Pak Tua, maafkan aku...” Balasku sedikit terpatah-patah.
“Yasudahlah, tidak usah kau pikirkan lagi. Padahal, tadi aku hanya iseng-iseng bertanya. Ckckck”
“Baiklah...”
“Tadinya kukira kau tidak akan sampai disini pemuda. Haha” Canda Pak Tua.
“Entahlah seperti apa nasibku nanti jika tidak menemukan desa ini, bisa saja aku akan mati kedinginan nantinya. Dan tidak ada yang memperdulikan mayatku” Balasku.
“Oh ya, pasti kau butuh tempat singgah bukan?”
“Ya, tentu saja”
“Mari ikuti orang tua ini, akan kutunjukan tempat singgah yang tepat untukmu”
Kulakukan perintahnya. Berjalan mengikuti orang tua itu persis disamping kanannya. Sepertinya Pak Tua ini tahu betul seluk-beluk desa ini, begitulah hati kecilku berkata. Memintanya untuk menjadi guide berkeliling desa besok, mungkin akan terasa lebih menarik. Selain orang tua itu bijaksana, ia juga terlihat sebagai orang yang ramah. Enak untuk diajak bercanda.
Tibalah aku di pelosok desa bagian timur, dimana para penduduk tinggal dengan gubuk-gubuk sederhana mereka. Satu hal yang membuatku terkesan lagi, yaitu meskipun ini hanyalah gubuk-gubuk sederhana , tetapi mereka memiliki rancsngsn yang indah. Sungguh, menjadikan salah satu ciri khas dari desa nan indah ini.
Lalu kami berbelok arah dan masuk ke pekarangan salah satu penduduk desa itu. Setibanya di depan pintu, Pak Tua mengetuknya seraya mengucap salam. Tidak ada yang membukakan pintu. Pak Tua mencoba mengetuknya sekali lagi. Tidak ada jawaban juga. Mungkin ini terakhir kalinya Pak Tua akan mengetuk pintu itu. Jika tidak dibuka juga, bisa saja ia mengambil alternatif lain. Terlihat dari raut wajahnya. Namun takdir menggerakan telinga dan hati sang pemilik rumah untuk mendengar dan membukakan pintu untuk kami berdua.
Keluarlah wanita yang kupikir ia sebaya dengan Pak Tua. Wanita itu menatap wajah Pak Tua lamat-lamat. Mencoba mengenali setiap guratan wajahnya. Seakan-akan mereka sudah lama tidak berjumpa. Memakan waktu cukup lama.
“Yusuf?” Akhirnya ia melontarkan sebuah nama.
“Ya, benar. Pastilah penyakit pikunmu sedang kambuh, Laila. Hahaha” Balas Pak Tua yang membuat Wanita Tua yang bernama Laila itu tersipu malu.
“Ada perlu apa kau datang malam-malam seperti ini, Yusuf? Dan siapa gerangan pemuda itu?” Tanya Wanita Tua itu pada Pak Tua sembari menunjukku.
“Hmmm...Baiklah akan kujelaskan. Alamak! Eh, sebelumnya perkenalkan pemuda ini bernama Khazam” Kata Pak Tua.
Aku dan Wanita Tua itu saling bertatapan. Berbalas senyum.
“Ia seorang pengembara. Baru saja tiba di desa ini kala lembayung merah hilang. Tepat. Jadi, maksudku membawa pemuda ini tidak lain ingin menjadikan rumahmu sebagai tempat singgahnya untuk sementara waktu ini” Sambung Pak Tua.
“Kenapa kau lebih memilih rumahku? Bukankah masih banyak rumah lain di desa ini yang lebih layak? Lagipula tidak ada yang istimewa juga di gubuk sederhana ini” Balas Wanita Tua itu seperti ingin menolak permintaan Pak Tua.
“Entahlah, mengapa aku lebih memilih pintu rumahmu dibanding dengan sekian banyaknya pintu rumah lainnya yang ada di desa ini. Firasatku menyuruh agar membawa pemuda ini ke rumahmu. Kau bilang tidak ada yang istimewa? Itu salah besar, Laila. Kau itu selalu mampu membuat cerita hidup seseorang menjadi lebih istimewa. Itulah yang membuat hal-hal yang ada disekitarmu menjadi istimewa” Kata Pak Tua yang sekali lagi membuat wajah Wanita Tua itu merah tersipu. Malu.
“Jadi, apakah kau mau menerima pemuda ini” Lanjut Pak Tua.
“Dengan senang hati...” Jawab Wanita Tua itu tanpa harus berpikir panjang lagi.

1 comments:

Simfoni Nyanyian Hati (eps 01)

16.49 Awaldi Rahman 1 Comments


Malam kini berganti petang. Kerlap-kerlip bintang-gemintang mulai hilang perlahan. Suara kokok ayam berisik membangunkan penduduk desa yang masih tertidur. Saling sahut-menyahut. Bergantian. Hembusan angin pagi mengetuk setiap jendela rumah penduduk, memasuki hingga sudut ruangan. Menusuk tulang. Masuk mengikuti jalur aliran darah, dan sampailah pada lubuk hati paling dalam. Membangunkan jiwa yang lelap. Ruhnya telah dikembalikan.
Desa itu hidup kembali. Para penduduk terlihat berlalu-lalang di jalan desa. Mereka mulai sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarganya. Ada pula yang mencari atas janji kehidupan mereka. Janji atas kehidupan yang lebih baik.
Begitu juga dengan cerita ini, cerita ini barulah dimulai bersamaan dengan hidup kembali desa ini. Dimana para penduduk memulai kembali rutinitas kesehariannya.
Perkenalkan, namaku Khazam. Seorang pengembara dari satu desa ke desa yang lainnya. Mengembara bersama sebuah suling bambu sebagai penghibur di waktu senggang. Aku tidak tahu pasti apa tujuan dari perjalanan panjang ini. Aku hanya menikmati setiap momen perjalanan panjang hidupku ini. Cukup menyenangkan.
Hari ini aku harus melanjutkan perjalanan. Sudah cukup lama aku singgah di desa terpencil ini. Tidak mendapat sesuatu yang berhargadan sesuatu yang bisa dikenang. Tidak jelas. Sia-sia. Memilih hijrah ke desa lain mungkin salah satu jalan terbaik. Niat yang mantap. Siap-siap.
Setelah berpamitan dengan pemilik gubuk kecil yang kusinggahi, perjalanan dimulai. Meski belum jelas akan ke desa mana diriku hijrah? Tidak terbayang sedikitpun bagaimana keadaan serta wujud desa baruku nanti. Sedikit berharap, semoga desanya lebih baik dari yang sebelumnya.
Matahari mulai meniggi. Sudah cukup jauh aku pergi meninggalkan desa terpencil itu. Dan sejauh perjalan panjang ini, aku belum melihat tanda-tanda adanya sebuah desa. Aku merasa terjebak di padang nan luas ini. Seperti sudah tujuh kali melewati jalan yang sama. Hanya berkeliling. Melelahkan.
Karena itu, aku memutuskan untuk istirahat sejenak. Tepat di bawah rindangnya pohon berbatang besar aku bersandar. Kala matahari sudah berada di atas. Singgasananya. Tidak terlalu panas. Membuat istirahatku terasa sedikit lebih nyaman. Entahlah, seperti apa desa yang akan kutemui nanti. Tiba-tiba saja pikirku. Hal ini memang sudah biasa bagiku. Aku sudah paham. Memang sesuatu yang tidak mudah untuk mencari sebuah desa baru. Membutuhkan perjuangan, pengorbanan, pengertian, dan rasa cinta.
“Kutahu engkau sangat kelelahan, minumlah air ini!” Seseorang dengan wajah tua mengagetkanku dari lamunan omong kosong itu sambil menawarkan air minum.
Wajahnya seperti sudah tidak asing lagi bagiku. Berjanggut lebat. Tua memakai jubah putih serta memegang walking stick di tangannya. Dilihat dari gurat wajahnya, ia seperti orang baik. Tidak terlihat sama sekali bahwa ia teroris atau zionis sekalipun. Ramah dan berwibawa.
“Ambilah nak...” Sekali lagi lamunanku terpecah olehnya.
“Terima kasih pak tua” Balasku sembari menerima air minum darinya.
Glukglukglukgluk. Sekiranya lebih dari cukup untuk melepas dahaga selama perjalanan tadi. Sebelum memulai perjalanan tadi pagi, aku memang lupa untuk menyiapkan bekal, termasuk air minum. Jadi aku harus menerima risiko dari tindakanku. Menahan rasa dahaga sepanjang perjalanan.
“Apa yang sedang engkau cari pemuda?” Tanya pak tua itu.
“Tidak ada” Jawabku singkat sembari mengembalikan air minum yang ia beri.
“Lantas, bagaimana engkau bisa sampai disini?”
“Aku seorang pengembara, berjalan jauh tanpa tujuan pasti, singgah apabila menemukan sebuah desa”
“Engkau mencari sebuah desa?”
“Yaa”
“Berjalanlah engkau ke selatan, jauh sebelum matahari tenggelam engkau sudah menemukan desa itu. Sungguh, janji kehidupanmu akan engkau temukan disana”
Pak tua itu memberi petunjuk.
“Baiklah, terima kasih” Jawabku sedikit tidak mengerti mengenai janji kehidupan itu. Abaikan.
Lalu pak tua itu pergi begitu saja. Datang mengagetkan, pulang tanpa berpamitan. Aneh.
Sekiranya cukup untuk istirahat. Aku bergegas melanjutkan perjalanan. Mengarah ke selatan sesuai dengan petunjuk yang diberi pak tua tadi. Berjalan di bawah teriknya matahari. Panas membakar kulit. Jarang sekali kutemui orang yang berlalu-lalang. Masih bisa terhitung oleh jari tangan orang kutemui selama perjalanan ini. Sedikit. Bingung, daerah ini sepi sekali.
Matahari hendak turun dari singgasananya. Kembali rasa lelah merasuki seluruh tubuhku. Tetapi kali ini masih dapat kutahan hasrat untuk istirahat kembali, kuteruskan perjalanan mencari desa yang diberi tahu oleh pak tua tadi. Sungguh melelahkan ternyata, tidak seperti biasanya. Terus saja aku berjalan menyusuri kaki bukit yang mungkin tiada ujungnya ini. Cukuplah sudah, mungkin aku terlalu banyak bergurau selama perjalan ini. Lebih cepat sedikit dalam melangkah mungkin lebih baik untuk cepat tiba di desa itu. Berjalan terus dan pasrah akan jangka waktu. Hanya menikmati akan setiap nikmat yang diberikan sang pencipta semesta.
Waktu terus berputar begitu cepat. Mengutuk pak tua tadi dengan beberapa kalimat sumpah serapah. Mengingat-ingat katanya, bahwa aku akan sampai jauh sebelum matahari tenggelam. Pada kenyataannya, lembayung merah kini hilang sudah.

1 comments: