Simfoni Nyanyian Hati (eps 01)

16.49 Awaldi Rahman 1 Comments


Malam kini berganti petang. Kerlap-kerlip bintang-gemintang mulai hilang perlahan. Suara kokok ayam berisik membangunkan penduduk desa yang masih tertidur. Saling sahut-menyahut. Bergantian. Hembusan angin pagi mengetuk setiap jendela rumah penduduk, memasuki hingga sudut ruangan. Menusuk tulang. Masuk mengikuti jalur aliran darah, dan sampailah pada lubuk hati paling dalam. Membangunkan jiwa yang lelap. Ruhnya telah dikembalikan.
Desa itu hidup kembali. Para penduduk terlihat berlalu-lalang di jalan desa. Mereka mulai sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarganya. Ada pula yang mencari atas janji kehidupan mereka. Janji atas kehidupan yang lebih baik.
Begitu juga dengan cerita ini, cerita ini barulah dimulai bersamaan dengan hidup kembali desa ini. Dimana para penduduk memulai kembali rutinitas kesehariannya.
Perkenalkan, namaku Khazam. Seorang pengembara dari satu desa ke desa yang lainnya. Mengembara bersama sebuah suling bambu sebagai penghibur di waktu senggang. Aku tidak tahu pasti apa tujuan dari perjalanan panjang ini. Aku hanya menikmati setiap momen perjalanan panjang hidupku ini. Cukup menyenangkan.
Hari ini aku harus melanjutkan perjalanan. Sudah cukup lama aku singgah di desa terpencil ini. Tidak mendapat sesuatu yang berhargadan sesuatu yang bisa dikenang. Tidak jelas. Sia-sia. Memilih hijrah ke desa lain mungkin salah satu jalan terbaik. Niat yang mantap. Siap-siap.
Setelah berpamitan dengan pemilik gubuk kecil yang kusinggahi, perjalanan dimulai. Meski belum jelas akan ke desa mana diriku hijrah? Tidak terbayang sedikitpun bagaimana keadaan serta wujud desa baruku nanti. Sedikit berharap, semoga desanya lebih baik dari yang sebelumnya.
Matahari mulai meniggi. Sudah cukup jauh aku pergi meninggalkan desa terpencil itu. Dan sejauh perjalan panjang ini, aku belum melihat tanda-tanda adanya sebuah desa. Aku merasa terjebak di padang nan luas ini. Seperti sudah tujuh kali melewati jalan yang sama. Hanya berkeliling. Melelahkan.
Karena itu, aku memutuskan untuk istirahat sejenak. Tepat di bawah rindangnya pohon berbatang besar aku bersandar. Kala matahari sudah berada di atas. Singgasananya. Tidak terlalu panas. Membuat istirahatku terasa sedikit lebih nyaman. Entahlah, seperti apa desa yang akan kutemui nanti. Tiba-tiba saja pikirku. Hal ini memang sudah biasa bagiku. Aku sudah paham. Memang sesuatu yang tidak mudah untuk mencari sebuah desa baru. Membutuhkan perjuangan, pengorbanan, pengertian, dan rasa cinta.
“Kutahu engkau sangat kelelahan, minumlah air ini!” Seseorang dengan wajah tua mengagetkanku dari lamunan omong kosong itu sambil menawarkan air minum.
Wajahnya seperti sudah tidak asing lagi bagiku. Berjanggut lebat. Tua memakai jubah putih serta memegang walking stick di tangannya. Dilihat dari gurat wajahnya, ia seperti orang baik. Tidak terlihat sama sekali bahwa ia teroris atau zionis sekalipun. Ramah dan berwibawa.
“Ambilah nak...” Sekali lagi lamunanku terpecah olehnya.
“Terima kasih pak tua” Balasku sembari menerima air minum darinya.
Glukglukglukgluk. Sekiranya lebih dari cukup untuk melepas dahaga selama perjalanan tadi. Sebelum memulai perjalanan tadi pagi, aku memang lupa untuk menyiapkan bekal, termasuk air minum. Jadi aku harus menerima risiko dari tindakanku. Menahan rasa dahaga sepanjang perjalanan.
“Apa yang sedang engkau cari pemuda?” Tanya pak tua itu.
“Tidak ada” Jawabku singkat sembari mengembalikan air minum yang ia beri.
“Lantas, bagaimana engkau bisa sampai disini?”
“Aku seorang pengembara, berjalan jauh tanpa tujuan pasti, singgah apabila menemukan sebuah desa”
“Engkau mencari sebuah desa?”
“Yaa”
“Berjalanlah engkau ke selatan, jauh sebelum matahari tenggelam engkau sudah menemukan desa itu. Sungguh, janji kehidupanmu akan engkau temukan disana”
Pak tua itu memberi petunjuk.
“Baiklah, terima kasih” Jawabku sedikit tidak mengerti mengenai janji kehidupan itu. Abaikan.
Lalu pak tua itu pergi begitu saja. Datang mengagetkan, pulang tanpa berpamitan. Aneh.
Sekiranya cukup untuk istirahat. Aku bergegas melanjutkan perjalanan. Mengarah ke selatan sesuai dengan petunjuk yang diberi pak tua tadi. Berjalan di bawah teriknya matahari. Panas membakar kulit. Jarang sekali kutemui orang yang berlalu-lalang. Masih bisa terhitung oleh jari tangan orang kutemui selama perjalanan ini. Sedikit. Bingung, daerah ini sepi sekali.
Matahari hendak turun dari singgasananya. Kembali rasa lelah merasuki seluruh tubuhku. Tetapi kali ini masih dapat kutahan hasrat untuk istirahat kembali, kuteruskan perjalanan mencari desa yang diberi tahu oleh pak tua tadi. Sungguh melelahkan ternyata, tidak seperti biasanya. Terus saja aku berjalan menyusuri kaki bukit yang mungkin tiada ujungnya ini. Cukuplah sudah, mungkin aku terlalu banyak bergurau selama perjalan ini. Lebih cepat sedikit dalam melangkah mungkin lebih baik untuk cepat tiba di desa itu. Berjalan terus dan pasrah akan jangka waktu. Hanya menikmati akan setiap nikmat yang diberikan sang pencipta semesta.
Waktu terus berputar begitu cepat. Mengutuk pak tua tadi dengan beberapa kalimat sumpah serapah. Mengingat-ingat katanya, bahwa aku akan sampai jauh sebelum matahari tenggelam. Pada kenyataannya, lembayung merah kini hilang sudah.

1 comments: