Panggung Fenomenal

02.07 Awaldi Rahman 11 Comments

Durasi Baca: 5 Menit
Kiranya, sekitar satu tahun yang lalu, saya berdiri pada ruang yang sama. Time flies. Tidak seorang diri, saya ditemani 11 orang lainnya yang --konon katanya ketika berhasil masuk tahap itu-- dilabeli dengan sebutan ‘aktivis’. Masih ingat betul, kali pertama sekaligus urutan pertama dari peserta yang memasuki ruang itu adalah saya. Begitu masuk, penonton bersorak sorai menyemangati. Hawa dingin, gugup, senang, penuh dengan menduga-duga, bingung, semuanya bercampur aduk menemani saya kala itu.

Selepas Uji Publik Calon PM Bakti Nusa 8 Bandung

Bagaimana tidak? Saya dihadapkan dengan kurang lebih 100 tatap mata penonton dari beberapa universitas ternama. Belum lagi mereka yang menyaksikan lewat siaran langsung di media sosial. Yang saya pahami, tujuan mereka hadir menonton tidak lepas dari dua hal, mendukung temannya di atas panggung dan menantikan gagasan menarik dari para peserta seleksi Beasiswa Aktivis Nusantara 8 Bandung.
Hawa yang tadinya dingin, terasa berubah seketika. Satu dua peserta mulai panas dingin, ada juga yang mulai berkeringat. Sibuk menyimak, kemudian mencatat. Sesekali mungkin melirik ke pendukungnya. Dan, marilah sebut saja panggung itu panggung uji publik yang fenomenal. Pertanyaan yang dilempar selalu tidak terduga. Pertanyaan yang dilontarkan pasti akan diingat.

Ketika Orasi Publik

Misalnya saja, satu waktu terlempar pertanyaan, “Kalian yang di depan ini kan aktivis, para pemimpin, berarti seharusnya dekat dengan rakyat atau masyarakat juga. Pertanyaannya sederhana, siapa nama Ketua RT dan RW di rumah/kos tempat kalian tinggal?” Jleb. Itu termasuk salah satu pertanyaan yang tidak bisa saya jawab –hamdalah sekarang sudah bisa.
Tidak hanya itu, ada lagi “Siapa yang pagi tadi Shubuh kesiangan?”, atau keluar juga pertanyaan seperti ini, “Siapa yang ingin menikah di tahun 2020? Keluarga seperti apa yang ingin dibangun nantinya?”. Terakhir, “Jika harus memilih, siapa menurut kalian yang seharusnya tidak lolos tahap ini?”. Fix, pertanyaan terakhir paling mengundang rasa haru. Ya, ini tahun lalu.
Lima hari lalu, lagi-lagi panggung fenomenal ruangan itu memberikan banyak pelajaran. Atmosfer positifnya masih ada, bahkan bertambah banyak. Inspirasi hadir. Tawa mewarnai (Karena jawaban-jawaban jenaka dari peserta dan pertanyaan “Kalau harus saling memilih, siapa yang akan kalian pilih untuk dijadikan pasangan hidup?”). Serta, haru menjadi pelengkap (Kalau ini karena pertanyaan, “Siapa sosok inspirasi kalian dan apa yang ingin kalian ucapkan seandainya ia ada di depan kalian?”).

Selapas Uji Publik Calon PM Bakti Nusa 9 Bandung

Dari beberapa pertanyaan yang terlontar, sudah menjadi barang pasti ada pesan yang ingin disampaikan secara tidak langsung oleh penanya kepada peserta. Tidak lain untuk menjadikan kita lebih menguasai soal manajemen pengendalian diri, lebih peka terhadap lingkungan sekitar tempat tinggal, pentingnya perencanaan hidup ke depan, serta peranan apa yang bisa kita lakukan untuk memajukan agama bangsa dan negara.
Saya sendiri turut bersyukur pernah melalui serta pada akhirnya menjadi bagian kecil keluarga Bakti Nusa Bandung. Sebab, menjalani serangkaian prosesnya bukanlah perkara mudah. Bahkan beberapa memutuskan lebih awal untuk tidak melanjutkan pendaftaran sedari awal. Padahal, banyak sekali pembelajaran serta hikmah yang bisa dipetik setelah semua tahapan seleksinya berakhir. Setidaknya, itulah yang saya rasakan.
“Kita tidak pernah benar-benar memilih, tapi oleh-Nya kita dipilihkan jalan.”
Nah, kalau diberi kesempatan untuk bertanya kepada para aktivis mahasiswa tersebut, pertanyaan menarik apa yang akan teman-teman berikan? Boleh banget tulis dikomentar :)

11 comments:

#KONTINU Eps. 0: Memulai Kembali

12.00 Awaldi Rahman 11 Comments

Durasi baca: 4-5 Menit.
Beberapa bulan terakhir, saya cukup dibuat resah. Bukan tanpa sebab. Jadi, terhitung sekitar 8 bulan terakhir volume bacaan buku saya begitu signifikan. Bisa dikatakan, konstan per bulan minimal dua buku habis dilahap. Ya, saya sedang membiasakan kebiasaan baik tersebut. Mudah-mudahan bisa konsisten.
Namun, ada satu kebiasaan yang ternyata telah lama saya lewatkan. Blogging. Lebih tepatnya lagi adalah menulis. Betapa tidak produktifnya, selama kurun waktu satu tahun hanya mampu menerbitkan dua tulisan? Satu sisi memang seharusnya masih bisa saya syukuri karena tidak kosong seutuhnya dalam satu tahun itu. Tetapi di satu sisi, benar adanya jika hal tersebut juga dijadikan bahan renungan atau evaluasi.
Oleh karena itu, di awal pekan ini saya mau mengabarkan sesuatu. Saya ingin memulai kembali. Menulis di sini lagi. Saya rindu dengan dunia blogging. Blogwalking. Promosi tulisan. Saya rindu itu semua. Di sisi lain, saya harus mencoba realistis. Di luar sana, ada satu dua amanah lain yang juga harus saya tunaikan. Tetapi, saya akan tetap mencoba. Saya coba targetkan tahun ini ada 50 tulisan baru. Lebih bagus, kurang semoga tidak. BIsmillah.
Mari kita mulai dengan tulisan yang mengambil tajuk "kontinu" ini. Terinspirasi dari sebuah hadits yang saya temukan ketika sekilas membaca sebuah buku. Bunyinya seperti ini, "Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” Harapannya, memulai menulis kembali adalah salah satu jalan pembangunan kebiasaan lama yang sempat terhenti. Harus dimulai dari sesuatu yang sedikit, untuk kemudian bertambah jadi lebih banyak atau terus-menerus. Pun sedikit banyak tulisan bertajuk kontinu ini akan lebih banyak berbicara soal hikmah. Hikmah kehidupan yang dirasa dekat dengan kejadian sehari-hari.
Maka mulailah dari yang sedikit. Kemudian tambah sedikit. Lalu sedikit lagi. Dan sedikit lagi. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah biarkan diri kita yang dengan hebatnya menyesuaikan sendiri terhadap ritme yang ada. Tidak instan, semua melalui serangkaian tahapan. Jadi, mari nikmati setiap prosesnya.
Sudah siap lanjut? Kontinu.

11 comments: