“Hei Man! Sudah dululah belajarnya, hampir 6 jam kau terus-terusan belajar. Lupa mandi, lupa minum. Ayolah kita makan malam bersama”
“Baik bu...” Jawabku tanpa membantah perintahnya.
Tentu saja aku tidak akan membantahnya, aku tidak memakan selain ampas gandum semenjak sarapan pagi tadi. Ya, hanya itu. Aku pun bergegas berkumpul bersama Ayah dan Ibu di tempat biasa kami makan bersama.
“Man, kamu serius ingin melanjutkan sekolahmu ke tingkat SMA?” Tanya Ayah saat makan bersama.
“Iya yah, akuu ingin sekali melanjutkan jenjang sekolahku ke yang lebih tinggi lagi” Jawabku dengan lantang.
“Tapiii...”
“Tapi kenapa yah?” Tanyaku penuh rasa penasaran karena wajah Ayah tertiba saja berubah.
“Ya kamu juga tahu bagaiman kondisi Ayah dan Ibu saat ini, kondisi keuangan kita, kondisi keluarga kita. Bahkan makanpun kita hanya memakan ampas gandum. Itupun hanya dua kali sehari”
“Jadiii... Aku tidak bisa melanjutkan sekolah lagi, Yah?” Tanyaku sedikit memelas.
“Bukan begitu maksud Ayah. Kamu bisa melanjutkan sekolah, tetapi masalah biaya Ayah dan Ibu angkat tangan” Jawab Ayah terus terang.
“..............”
“Jalanmu masih banyak, Man. Satu  pintu tertutup maka pintu-pintu lainnya siap menyambut kedatanganmu. Cobalah saja dulu. Apalagi kamu termasuk anak berprestasi di sekolah. Jalur beasisiwa pun bisa saja kamu dapatkan asalkan berusaha. Katanyaa mau banget jadi presideeen” Kata ibu yang mencoba membuka jalan pikiran Kerman.
“Apa iya aku bisa, Bu?” Tanyaku masih kurang yakin.
“Tentu saja kamu bisa, sayang. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Layaknya Thomas Alfa Edison yang telah beratus-ratus kali gagal menciptakan sebuah lampu. Namun, pada percobaan ke-1001 kali, barulah ia berhasil menciptakannya. Berusaha mencintai apa yang ingin dicapai, lalu ditambah dengan perjuangan keras dan keyakinan. Akhirnya keinginannya tercapai tanpa sia-sia dan hingga saat ini namanya dikenang, dan hingga saat ini juga hasil penemuannya masih bisa kita rasakan. Ingat Man! Intinya ada tiga yang harus kamu lakukan dan taklukan. Cinta-Perjuangan-Yakin” Jawab Ibu panjang lebar.
“Ayah sangat berharap kelak nanti kamu tidak akan seperti Ayah saat ini, tetapi kamu bisa jadi orang yang sukses dan bisa memimpin untuk kemajuan negara” Sambung Ayah.
Aku hanya bisa termanggut-manggut dan akan merenungkan perkataan Ayah dan Ibu sebelum tidur nanti.
Percakapan singkat itu telah usai.
Ayah bergegas bangun dan masuk ke kamarnya. Begitu juga dengan Ibu, ia sibuk membersihkan tempat makan bersama tadi. Lalu aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan melanjutkan belajar.
Sesampainya di kamar, aku bergelut kembali dengan tumpukan-tumpukan buku pelajaran. Cukup banyak. Hal ini memang haruslah dilakukan, bahkan dipaksakan. Jika beasiswanya hanya jalan satu-satunya bagiku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, maka inilah salah satu bentuk usahaku untuk mendapatkan besiswa itu.
Waktuku untuk mempersiapkan semuanya hanya tinggal seminggu lagi. Pekan depan.
Tidak terasa kini malam mulai larut. Sudah saatnya aku bergegas untuk tidur. Ibu pernah berkata bahwa tidur terlalu larut itu tidak baik, akan mengganggu aktifitas kita esok harinya. Jadi, lebih baik aku mendengar kata-kata Ibu daripada konsentrasiku hilang seketika saat belajar di sekolah besok.
Sayup-sayup angin malam berhembus begitu tenang. Mengetuk setiap jendela rumah penduduk. Memenuhi hingga sudut ruangan yang hampa. Hingga berhembus damai mengahantarkan tidur lelapku.
Sempurna sudah aku terlelap tidur. Terbang dalam buaian jutaan mimpi dan jutaan misteri. Mimpi-mimpi itu tergantung pada indahnya langit dan semua misteri itulah yang akan terjadi kelak. Cepat atau lambat.
*~*~*~*~*~*~*~*~*
Berita gembira ini harus segera tersampaikan kepada Ayah dan Ibu. Pastilah mereka bahagia mendengarnya.
Aku melengkah lebih cepat, tidak sabar lagi untuk secepatnya tiba di rumah. Membawa kabar baik ini. Astaga, tidak sia-sia aku selalu bergelut dengan buku-buku itu. Kini seluruh usahaku telah terbayar tunai dengan hasil yang kuterima saat ini.
Langit yang tadinya mendung, kini kembali cerah. Burung-burung keluar kembali dari sarangnya. Berkicau nan merdu. Saling sahut-menyahut. Rumout-rumput kembali bergoyang-goyang diterpa angin. Seolah-olah mereka bisa merasakan apa yang sedang aku rasakan saat ini. Bahagia.
Setibanya di rumah, aku langsung mencari dimana Ayah dan Ibu berada. Ternyata mereka sedang membicarakan sesuatu. Urusan keluarga mungkin.
“Yah! Bu! Aku berhasil mendapatkan beasiswa itu. Hahaha” Kataku tanpa basa-basi terlebih dahulu.
“Serius kamu, Man? Wah, selamat yaaa.....” Balas Ayah lalu memelukku.
“Selamat yaa sayang.....” Sambung Ibu lalu bergantian dengan Ayah memelukku.
“Makasih Yah, Makasih Bu. Ini semua juga berkat Ayah dan Ibu yang selalu memberikanku dorongan agar tetap semangat dan terus berusaha”
“Sama-sama, Man...” Jawab Ayah dan Ibu bersamaan.
“Akhirnya tercapai juga jadi anak SMA” Ledek Ayah.
“Apa deh yah?” Balasku.
“Hahahaha” Kami tertawa bersama.
Akhirnya satu kabar baik telah ditampakkan. Satu misteri telah terungkap pada hari itu. Membuat keluarga sederhana itu merasa lebih bahagia akan segala sandiwara yang ada dalam kehidupan yang fana ini.
Aku lulus dengan nilai rata-rata yang hampir sempurna. Berada di peringkat teratas dari 213 peserta yang mengikuti tes. Cukup puas. Melanjutkan sekolah di tingkat SMA dengan mendapatkan beasiswa penuh selama tiga tahun. Sebuah prestasi tentunya.
Masa depan yang cerah siap kunanti. Tentunya akan lebih baik lagi dari hari ini.


Sudahlah, tiada guna menyalahkan Pak Tua tadi. Mungkin ini salahku juga, terlalu banyak bergurau, lama bersantai, dan membuang-buang waktu. Tidak pantaslah aku terlalu menyalahkan orang tua itu. Astaga, maafkan aku yang telah berbuat dosa padamu Pak Tua.
Kini perjalananku ditemani dengan sebuah senter yang menyibak gelap dengan cahayanya. Juga suara jangkrik yang membuat perjalanan ini terasa lebih hidup. Ramai. Angin malam berhembus mulai kencang membuat hasrat ingin segera sampai semakin besar. Tatapanku kosong memandang jauh ke depan.
Langkahku tiba-tiba saja terhenti. Bukan karena ada hewan buas yang hendak menerkam, juga bukan karena ada perampok yang ingin merampas barang bawaan, apalagi karena ada hantu yang menakuti, itu juga bukan. Melainkan sangat takjub dan begitu terpana. Didepanku kini terdapat sebuah desa yang tidak kalah indahnya dengan perkotaan di negeri jauh sana.
Kupukuli, kucubiti pipiku. Sakit. Ternyata ini bukan mimpi, melainkan sungguh nyata terjadi. Alangkah indahnya desa ini, bak taman yang ada di surga. Belum pernah kulihat sekalipun. Senang sekali melihat ini semua dengan mata kepala sendiri, meskipun menyisakan sedikit rasa sesal karena menyumpahi Pak Tua tadi. Bagaimana tidak menyesal? Desa ini kutemukan hanya sepelemparan batu dari tempat dimana aku menyumpahi Pak Tua itu. Sekali lagi maafkan aku Pak Tua, aku benar-benar menyesal.
Suasana hening seketika. Bintang-bintang dengan indah membentuk jutaan formasi, juga ditemani dewi malam yang setia menerangi dengan cahaya nyatanya dari gelap gulita. Tidak mau kalah, kerlap-kerlip ribuan kunang-kunang membuat semua menjadi lebih indah. Aku benar-benar tertegun oleh semua ini. Ditambah lagi dengan gapura desa itu. Tegak berdiri menyambut para pendatangnya.
“Astaga, sungguh baru kutemui desa seperti ini selama tujuh tahun aku mengembara. Bahkan, layak saja untuk dibilang pemukiman elite” Gerutuku dalam hati.
Tanpa banyak berpikir, langsung saja kulangkahkan kakiku menuju gapura itu dan masuk ke dalamnya.
Sungguh, Khazam benar-benar tidak tahu bahwa cerita hidupnya akan menjadi lebih rumit lagi. Apalagi jikalau bukan karena cinta? Ya, tentunya setelah potongan-potongan bagian ini.
*~*~*~*~*~*
“Pak Tua?” Kagetku setengah tidak percaya akan bertemu Pak Tua di desa ini.
“Rupanya kau wahai pemuda. Alamak, apakah engkau baru saja tiba di desa ini?”
“Ya, baru saja” Jawabku santai dan tidak ingin menyalahkan Pak Tua atas hal ini. Toh, ini juga salahku sendiri.
“Hahaha, tentu saja itu bukan salahku. Itu karena engkau terlalu mengikuti rasa egomu, banyak bersantai, banyak bergurau, mungkin saja kau juga memaki-makiku. Sebab, kubilang padamu kau akan sampai jauh sebelum matahari terbenam. Benar begitu?” Kata Pak Tua datar.
“I..i..iya Pak Tua, maafkan aku...” Balasku sedikit terpatah-patah.
“Yasudahlah, tidak usah kau pikirkan lagi. Padahal, tadi aku hanya iseng-iseng bertanya. Ckckck”
“Baiklah...”
“Tadinya kukira kau tidak akan sampai disini pemuda. Haha” Canda Pak Tua.
“Entahlah seperti apa nasibku nanti jika tidak menemukan desa ini, bisa saja aku akan mati kedinginan nantinya. Dan tidak ada yang memperdulikan mayatku” Balasku.
“Oh ya, pasti kau butuh tempat singgah bukan?”
“Ya, tentu saja”
“Mari ikuti orang tua ini, akan kutunjukan tempat singgah yang tepat untukmu”
Kulakukan perintahnya. Berjalan mengikuti orang tua itu persis disamping kanannya. Sepertinya Pak Tua ini tahu betul seluk-beluk desa ini, begitulah hati kecilku berkata. Memintanya untuk menjadi guide berkeliling desa besok, mungkin akan terasa lebih menarik. Selain orang tua itu bijaksana, ia juga terlihat sebagai orang yang ramah. Enak untuk diajak bercanda.
Tibalah aku di pelosok desa bagian timur, dimana para penduduk tinggal dengan gubuk-gubuk sederhana mereka. Satu hal yang membuatku terkesan lagi, yaitu meskipun ini hanyalah gubuk-gubuk sederhana , tetapi mereka memiliki rancsngsn yang indah. Sungguh, menjadikan salah satu ciri khas dari desa nan indah ini.
Lalu kami berbelok arah dan masuk ke pekarangan salah satu penduduk desa itu. Setibanya di depan pintu, Pak Tua mengetuknya seraya mengucap salam. Tidak ada yang membukakan pintu. Pak Tua mencoba mengetuknya sekali lagi. Tidak ada jawaban juga. Mungkin ini terakhir kalinya Pak Tua akan mengetuk pintu itu. Jika tidak dibuka juga, bisa saja ia mengambil alternatif lain. Terlihat dari raut wajahnya. Namun takdir menggerakan telinga dan hati sang pemilik rumah untuk mendengar dan membukakan pintu untuk kami berdua.
Keluarlah wanita yang kupikir ia sebaya dengan Pak Tua. Wanita itu menatap wajah Pak Tua lamat-lamat. Mencoba mengenali setiap guratan wajahnya. Seakan-akan mereka sudah lama tidak berjumpa. Memakan waktu cukup lama.
“Yusuf?” Akhirnya ia melontarkan sebuah nama.
“Ya, benar. Pastilah penyakit pikunmu sedang kambuh, Laila. Hahaha” Balas Pak Tua yang membuat Wanita Tua yang bernama Laila itu tersipu malu.
“Ada perlu apa kau datang malam-malam seperti ini, Yusuf? Dan siapa gerangan pemuda itu?” Tanya Wanita Tua itu pada Pak Tua sembari menunjukku.
“Hmmm...Baiklah akan kujelaskan. Alamak! Eh, sebelumnya perkenalkan pemuda ini bernama Khazam” Kata Pak Tua.
Aku dan Wanita Tua itu saling bertatapan. Berbalas senyum.
“Ia seorang pengembara. Baru saja tiba di desa ini kala lembayung merah hilang. Tepat. Jadi, maksudku membawa pemuda ini tidak lain ingin menjadikan rumahmu sebagai tempat singgahnya untuk sementara waktu ini” Sambung Pak Tua.
“Kenapa kau lebih memilih rumahku? Bukankah masih banyak rumah lain di desa ini yang lebih layak? Lagipula tidak ada yang istimewa juga di gubuk sederhana ini” Balas Wanita Tua itu seperti ingin menolak permintaan Pak Tua.
“Entahlah, mengapa aku lebih memilih pintu rumahmu dibanding dengan sekian banyaknya pintu rumah lainnya yang ada di desa ini. Firasatku menyuruh agar membawa pemuda ini ke rumahmu. Kau bilang tidak ada yang istimewa? Itu salah besar, Laila. Kau itu selalu mampu membuat cerita hidup seseorang menjadi lebih istimewa. Itulah yang membuat hal-hal yang ada disekitarmu menjadi istimewa” Kata Pak Tua yang sekali lagi membuat wajah Wanita Tua itu merah tersipu. Malu.
“Jadi, apakah kau mau menerima pemuda ini” Lanjut Pak Tua.
“Dengan senang hati...” Jawab Wanita Tua itu tanpa harus berpikir panjang lagi.


Malam kini berganti petang. Kerlap-kerlip bintang-gemintang mulai hilang perlahan. Suara kokok ayam berisik membangunkan penduduk desa yang masih tertidur. Saling sahut-menyahut. Bergantian. Hembusan angin pagi mengetuk setiap jendela rumah penduduk, memasuki hingga sudut ruangan. Menusuk tulang. Masuk mengikuti jalur aliran darah, dan sampailah pada lubuk hati paling dalam. Membangunkan jiwa yang lelap. Ruhnya telah dikembalikan.
Desa itu hidup kembali. Para penduduk terlihat berlalu-lalang di jalan desa. Mereka mulai sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarganya. Ada pula yang mencari atas janji kehidupan mereka. Janji atas kehidupan yang lebih baik.
Begitu juga dengan cerita ini, cerita ini barulah dimulai bersamaan dengan hidup kembali desa ini. Dimana para penduduk memulai kembali rutinitas kesehariannya.
Perkenalkan, namaku Khazam. Seorang pengembara dari satu desa ke desa yang lainnya. Mengembara bersama sebuah suling bambu sebagai penghibur di waktu senggang. Aku tidak tahu pasti apa tujuan dari perjalanan panjang ini. Aku hanya menikmati setiap momen perjalanan panjang hidupku ini. Cukup menyenangkan.
Hari ini aku harus melanjutkan perjalanan. Sudah cukup lama aku singgah di desa terpencil ini. Tidak mendapat sesuatu yang berhargadan sesuatu yang bisa dikenang. Tidak jelas. Sia-sia. Memilih hijrah ke desa lain mungkin salah satu jalan terbaik. Niat yang mantap. Siap-siap.
Setelah berpamitan dengan pemilik gubuk kecil yang kusinggahi, perjalanan dimulai. Meski belum jelas akan ke desa mana diriku hijrah? Tidak terbayang sedikitpun bagaimana keadaan serta wujud desa baruku nanti. Sedikit berharap, semoga desanya lebih baik dari yang sebelumnya.
Matahari mulai meniggi. Sudah cukup jauh aku pergi meninggalkan desa terpencil itu. Dan sejauh perjalan panjang ini, aku belum melihat tanda-tanda adanya sebuah desa. Aku merasa terjebak di padang nan luas ini. Seperti sudah tujuh kali melewati jalan yang sama. Hanya berkeliling. Melelahkan.
Karena itu, aku memutuskan untuk istirahat sejenak. Tepat di bawah rindangnya pohon berbatang besar aku bersandar. Kala matahari sudah berada di atas. Singgasananya. Tidak terlalu panas. Membuat istirahatku terasa sedikit lebih nyaman. Entahlah, seperti apa desa yang akan kutemui nanti. Tiba-tiba saja pikirku. Hal ini memang sudah biasa bagiku. Aku sudah paham. Memang sesuatu yang tidak mudah untuk mencari sebuah desa baru. Membutuhkan perjuangan, pengorbanan, pengertian, dan rasa cinta.
“Kutahu engkau sangat kelelahan, minumlah air ini!” Seseorang dengan wajah tua mengagetkanku dari lamunan omong kosong itu sambil menawarkan air minum.
Wajahnya seperti sudah tidak asing lagi bagiku. Berjanggut lebat. Tua memakai jubah putih serta memegang walking stick di tangannya. Dilihat dari gurat wajahnya, ia seperti orang baik. Tidak terlihat sama sekali bahwa ia teroris atau zionis sekalipun. Ramah dan berwibawa.
“Ambilah nak...” Sekali lagi lamunanku terpecah olehnya.
“Terima kasih pak tua” Balasku sembari menerima air minum darinya.
Glukglukglukgluk. Sekiranya lebih dari cukup untuk melepas dahaga selama perjalanan tadi. Sebelum memulai perjalanan tadi pagi, aku memang lupa untuk menyiapkan bekal, termasuk air minum. Jadi aku harus menerima risiko dari tindakanku. Menahan rasa dahaga sepanjang perjalanan.
“Apa yang sedang engkau cari pemuda?” Tanya pak tua itu.
“Tidak ada” Jawabku singkat sembari mengembalikan air minum yang ia beri.
“Lantas, bagaimana engkau bisa sampai disini?”
“Aku seorang pengembara, berjalan jauh tanpa tujuan pasti, singgah apabila menemukan sebuah desa”
“Engkau mencari sebuah desa?”
“Yaa”
“Berjalanlah engkau ke selatan, jauh sebelum matahari tenggelam engkau sudah menemukan desa itu. Sungguh, janji kehidupanmu akan engkau temukan disana”
Pak tua itu memberi petunjuk.
“Baiklah, terima kasih” Jawabku sedikit tidak mengerti mengenai janji kehidupan itu. Abaikan.
Lalu pak tua itu pergi begitu saja. Datang mengagetkan, pulang tanpa berpamitan. Aneh.
Sekiranya cukup untuk istirahat. Aku bergegas melanjutkan perjalanan. Mengarah ke selatan sesuai dengan petunjuk yang diberi pak tua tadi. Berjalan di bawah teriknya matahari. Panas membakar kulit. Jarang sekali kutemui orang yang berlalu-lalang. Masih bisa terhitung oleh jari tangan orang kutemui selama perjalanan ini. Sedikit. Bingung, daerah ini sepi sekali.
Matahari hendak turun dari singgasananya. Kembali rasa lelah merasuki seluruh tubuhku. Tetapi kali ini masih dapat kutahan hasrat untuk istirahat kembali, kuteruskan perjalanan mencari desa yang diberi tahu oleh pak tua tadi. Sungguh melelahkan ternyata, tidak seperti biasanya. Terus saja aku berjalan menyusuri kaki bukit yang mungkin tiada ujungnya ini. Cukuplah sudah, mungkin aku terlalu banyak bergurau selama perjalan ini. Lebih cepat sedikit dalam melangkah mungkin lebih baik untuk cepat tiba di desa itu. Berjalan terus dan pasrah akan jangka waktu. Hanya menikmati akan setiap nikmat yang diberikan sang pencipta semesta.
Waktu terus berputar begitu cepat. Mengutuk pak tua tadi dengan beberapa kalimat sumpah serapah. Mengingat-ingat katanya, bahwa aku akan sampai jauh sebelum matahari tenggelam. Pada kenyataannya, lembayung merah kini hilang sudah.

“Mohon bapak dan ibu bisa menerimanya dengan lapang dada dan tetap rendah hati” Kata dokter lembut.
“I…i…iya pak! Kami akan sabar dengan hasil yang telah kami terima”
“Gak mungkin! Gak! Gak! Gak mungkiiiin...Huhuhu...” Sambung Nadia yang kemudian menangis.
Nadia. Istriku, hanya bisa menangis setelah mendengar hasil tes yang di berikan oleh pak dokter. Hasil tes menyatakan bahwa Nadia tidak bisa memiliki anak. Tentunya hasil ini membuat hatinya menjerit sedih. Di sisi lain, mungkin Nadia juga takut kepada mertuanya karena tidak bisa memberikan ia seorang cucu satupun.
“Sudahlah, jangan menangis terus...sebab, dengan menangis tidak dapat merubah segalanya kan?”
“Tapi mas, aku harus bilang apa pada ibu nantinya?!”
“Bilang saja sejujurnya, aku yakin, kalau ibu bisa menerimanya” Kataku meyakinkan dirinya.
“Ta..tapi aku takut mas, aku takut!!!” Cemas Nadia.
“Tenang saja, aku pasti akan membelamu” Kataku sambil memeluknya.

*     *     *     *     *

“Aniiiiis, kemari nak..” Sapa seorang wanita dengan sirat wajah yang penuh dengan kilauan cahaya nan indah.
Aku perhatikan dia dengan amat sangat tertegun. Dari ujung kepala hingga ujung kakinya sangatlah terang. Siapa dia? Apakah malaikat yang hendak mencabut nyawaku? Mau apa? Beribu-ribu pertanyaan begitu saja muncul dalam benak pikiranku. Tetapi, hati kecilku berkata bahwa dia adalah orang yang baik. Memanggilku dengan ramah dan dengan suara yang lembut. Ia juga cantik, bak bidadari-bidadari surga.
“Ha? Siapa? Aku?” Jawabku bingung.
“Iya kamu gadis cantik..” Balasnya lembut.
Aku jalan menghampiri wanita itu. Di kala aku hampir sampai, dia begitu saja pergi meninggalkanku entah ingin kemana.
“Tunggu! Engkau mau kemana?” Tanyaku pada wanita itu.
”Ikutlah denganku...” Balasnya pendek.
Kembali pertanyaan-pertanyaan itu muncul. Hendak kemana aku di ajak? Apa yang ingin dia lakukan kepadaku?. Terus saja aku ikuti kemana dia pergi, menyusuri jalan setapak yang mungkin tiada ujungnya bagiku. Suasana yang indah. Sejuk. Aku merasakan adanya ketenangan disini. Jiwaku kian tentram. Lalu, berhentilah wanita itu pada suatu tempat. Duduklah ia di sebuah bangku panjang. Dan menatapku dengan tatapan yang sungguh indah. Pada bola matanya terdapat siluet cahaya pelangi, seolah-olah memiliki jutaan pesona pada setiap kedip matanya. Rambutnya panjang terurai.
“Aniiis, duduk disini nak..” Minta wanita itu.
 Tanpa berpikir panjang akupun duduk tepat disamping wanita itu. Hening antara aku dan wanita itu. Hanya mampu membisu seribu kata. Terdengar jelas deras aliran sungainya. Juga kicauan burung-burung yang merdu.
“Sebelumnya, apakah Anis pernah pernah ke tempat ini?” Tanya wanita itu membuka percakapan.
“Belum” Jawabku yang kemudian menatap alam sekitar.
“Belum pernah?” Tanyanya sekali lagi.
“Belum” Jawabku meyakinkannya.
“Anis mau tau?”
“Mau...”
“Sekarang, Anis sedang berada di sebuah tempat yang paling indah. Taman surga.”
“Surga? Apa itu?”
“Kelak kau akan mengetahuinya sendiri nak..”
Suasana hening kembali. Kutatap wanita itu jelas. Wanita itupun menatapku juga.
“Aku tau kalau dirimu sedang sedih, hatimu sedang menangis. Karena itu aku mengajakmu kesini.”
“Dari mana engkau tau?” Balasku.
“Aku juga tau jikalau Anis sedang merasa sedih, Anis selalu menyendiri di pekarangan panti. Duduk menyendiri. Jikalau sepertiga malam tiba, Anis selalu bangun dan mengadu kepada-Nya.”
“Dari mana kau mengetahui semua itu?”
“Dari sini...” Jawab wanita itu sambil menunjuk ke arah dimana hati berada.
“Percayalah Anis, suatu saat nanti, dirimu akan menemukan arti kebahagian. Suatu saat nanti, dirimu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan selama ini.” Sambung wanita itu.
Tiba-tiba saja wanita itu memelukku erat. Cukup lama. Tidak tau kenapa, aku merasa nyaman dalam pelukannya. Dan terus ingin dalam pelukannya sampai kapanpun.
“Boleh aku bertanya?” Tanyaku pada wanita itu.
“Kamu ingin bertanya apa padaku? Tanyalah..” Jawabnya.
“Siapa engkau? Apakah kau malaikat? Mengapa kau begitu baik sekali padaku?”
Wanita itu melepaskan pelukannya. Lalu, berdiri dan berjalan menuju tepi sungai. Aku ikuti wanita itu dan berdiri disampingnya. Kulihat, wanita itu memandang ke arah air sungai yang begitu putih. Seperti air susu. Sangat putih air itu.
“Sungguh kamu ingin mengetahui siapa diriku nak?” Tanya wanita itu.
“Ya, aku ingin tau siapa dirimu..”
“Percayakah jika aku menjawab aku adalah bundamu?”
“.........” Aku tidak mampu berkata apapun.
“Percayakah Anis? Aku ini bundamu nak..”
“hm..percaya..” Jawabku agak ragu.
“Ayah dimana bun?” Tanyaku.
“Dia sedang sibuk di dalam. Mugkin, suatu saat nanti ia akan menemuimu juga.” Jawab bunda yang kemudian kembali memelukku. Setelah itu, kami bermain bersama. Lari-larian di tepi sungai. Tertawa gembira.
BYUUURRRRR!!!
Anis yang tiba-tiba saja terpeleset jatuh ke sungai.
BYUUURRRRR!!!
“Bangun!!” Bentak ibu panti.
Aku bangun dengan wajah yang masih ngantuk. Mengusap kedua mata. Dan melihat ke segala arah. Hanya ada ibu panti. Dimana bunda? Kemana dia pergi?.
“Heiiheii, sedang mencari apa kamu?”
“Tidak” Jawabku sambil menggeleng-geleng.
Begitu menyenangkan ketika aku bermain bersama bunda. Walaupun hanya sekejap. Tertawa bersama. Namun, itu semua hanya dalam mimpiku saja. Bukan di dunia nyata. Padahal, aku sangat senang sekali jika bunda dan ayah ada disini. Bersamaku.
“Ayo bangun, nanti kamu akan kedatangan orang tua barumu..”
“Ha?!” Jawabku kaget.
“Kenapa? Kamu tidak mau mendapatkan orang tua baru?”
“Tidak bu, aku mau sekali..”

*     *     *     *     *

“Apaa?!” Kaget ibu.
“Sudahlah bu, jangan marah pada Nadia, kasihan dia..”
“Sungguh mengecewakan..”
“Ibu! Hentikan! jangan begitu pada Nadia!” Ikut ayah.
Nadia hanya bisa menangis sedih. Ia tidak sanggup berkata lagi.  Ibu dan ayahpun beranjak pergi pulang. Tanpa berpamit.
“Apa aku bilang, pasti ibu tidak akan menerimanya mas...” Kata Nadia sambil menagis tersedu.
“Iyaiya...Sudahlah, anggap semua itu angin lalu”
“hmm..aku punya ide!” Sambungnya.
“Apa itu mas?” Tanyanya penasaran.
“Sebelumnya, kamu hapus dulu air mata yang ada di pipimu”
“Baiklah, sudah”
“Bagaimana kalau kita mengadopsi anak saja dari panti?”
“Apa kamu yakin mas, ibu akan suka?”
“Aku yakin, cepat atau lambat, ibu akan menyukainya.”
“Bagaimana kalau sekarang saja mas kita ke panti!” Kata Nadia penuh semangat.
“Sekarang? Baiik...” Jawabku yang ingin membuat Nadia terlihat lebih senang dari sebelumnya.

*     *     *     *     *

“Aniis mau pamit sama teman-teman dulu?”
“Mauu..”
Tanpa banyak bicara Anis langsung berpamitan pada teman-temannya. Teman akrab. Anak-anak panti lainnya hanya melihat dari belakang. Selanjutnya, ibu panti. Meskipun ia suka marah, aku tahu, marah itu karena ia begitu sayang padaku. Selesai berpamitan, aku pun menaiki mobil orang tua baruku.
Mobil sudah mulai meninggalkan panti. Perlahan, gerbang panti tidak terlihat lagi. Sedih, walaupun inilah yang aku inginkan. Semua kisah masa kecilku masih tertinggal di panti itu. Lala, teman baikku. Aku tau saat ini pasti ia sangat sedih dengan kepergianku.
“Aniis pasti sedih ya meninggalkan teman-teman di panti?”
“Iya tante..” Jawab Anis.
“Anis bisa kok, mengajak teman-teman panti ke rumah kapan-kapan, itu juga kalu Anis mauu..”
“Mau banget tante..” Jawab Anis semangat.
“Kok masih tante aja siih, pokoknya, mulai sekarang Anis manggilnya bunda aja ya..”
“Iya tante..eh, bundaa” Kata Anis yang membuat kami tertawa bersama.
“Nah, kalo yang sedang menyetir itu ayah”
“Ohh..”
“Haloo ayah...” Kata Anis.
“Haloo Aniiis..”
Tidak terasa candaan di mobil telah menghantarkan kami sampai hingga ke rumah. Selamat. Rumah yang sederhana. Tidak terlalu besar, melainkan biasa-biasa saja. Cat putih yang mulai terkotori oleh noda-noda kecil. Lampu taman yang lupa di matikan.
Agenda untuk sekarang ini hanyalah mempersiapkan kamar untuk Anis. Sibuk menata, sibuk menyapu, sibuk mengecat. Semua sibuk pada tugasnya masing-masing. Membuat tubuh capek dan lemas.
Hingga sore pun tiba, ibu datang kembali. Awalnya ibu tidak menyadari keberadaan Anis di rumah ini. Tetapi ketika Nadia memanggil Anis, wajah ibu langsung berubah bingung.
“Aniis? Siapa itu?”
“Aniis, ayo salam dulu sama nenek..” Kata Nadia.
Ketika Anis hendak memegang tangan nenek untuk mencium tangannya, nenek pun membuang tangan Anis keras.
“Cucuu?! Tidak! Aku tidak akan menganggapmu sebagai cucuku!”
“Ibu! Jangan begitu bu! Sudah kita pulang saja, daripada mengganggu kesenangan keluarga mereka.” Kata ayah membela.
Ibu memang tidak jelas. Selalu saja begitu. Datang, lalu pulang.
Pukul 00:00...
Bunda jatuh sakit. Badannya panas, dan tidak mau di bawa ke dokter. Ia hanya ingin di rawat di rumah saja. Menurut dokter, bunda hanya sakit biasa. Ia hanya terlalu capek saja, dan membutuhkan waktu untuk istirahat seharian penuh. Dan makan yang cukup tentunya.
Esok harinya...
Ibu kembali datang. Tetapi kali ini ia tidak membuat kegaduhan di rumah. Hanya saja, ibu tidak mau berbicara atau bertemu pada Anis. Ia menjaga jarak. Dan masih belum bisa mengakui bahwa Anis adalah cucu angkatnya.
Anis sendiri sedang menjaga bunda. Menyiapkan makan dan minum untuk bunda. Menyiapkan segalanya.
“Bunda sakit apa sih?” Tanya Anis.
“Hanya sakit biasa Aniis..” Jawab bunda lemah.
“Semoga cepat sembuh ya bundaa..” Kata Anis dengan melempar senyuman manis.
“Iya sayang..”
Tidak di sadari oleh Anis ataupun Nadia kalau ibu mengintip kejadian itu. Tiba-tiba saja rasa ibu kepada Anis sedikit demi sedikit berubah. Menjadi lebih tenang dari sebelumnya.
Dan ketika Anis sedang melakukan sholat yang kemudian diiringi dengan doa. Ibu juga mengintip lagi. Disinilah semua itu berubah sudah. Bunga layu itu kini tumbuh mekar. Rasa kesal itu kini hilang sudah.
“Aniiiiiss” Panggil nenek.
Anis pun bergegas memenuhi panggilan nenek. Agak ragu memang. Tetapi, perlahan tapi pasti Anis menuju nenek.
“Aniis, maafin nenek ya..” Kata nenek yang kemudian meneteskan air mata.
“Sebelum nenek minta maaf juga udah Anis maafin kok nek..” Jawab Anis tulus.
Hingga akhirnya sebuah berita gembira datang, bahwa Nadia sedang mengandung anak. Tentunya itu merupakan berita gembira buat ibu. Dan juga Anis yang sebentar lagi akan mempunyai adik.
Begitulah kehidupan Anis. Penuh akan cobaan hidup yang mendera hidupnya. Tetapi ia terus menjalaninya dengan tenang. Segurat senyuman,  itulah yang mengalahkan semuanya. Hidup terasa lebih indah jika disertai dengan senyuman. Ia akan mengisi relung hati yang hampa. Mengusik jiwa yang sedih.
Pada akhirnya mereka semua berbahagia...


-0-TAMAT-0-

Malam ini indah, tapi tidak seindah hatiku sekarang. Bulan menampakkan sirat cahayanya yang membuat seluruh kota menjadi terang benderang. Bintang-bintang juga ikut menyinarkan pelitanya yang membuat kota ini seolah-olah menjadi semakin hidup. Mereka membentuk jutaan formasi yang menghiasi langit. Dan sesekali aku melihat ada beberapa bintang jatuh.
Allahu Akbar...Allahu Akbar...
Sayup-sayup suara adzan kini saling bersahutan. Terdengar dari satu desa ke desa lainnya. Satu desa selesai, disambung lagi dengan desa lainnya. Membuat kota riuh seketika. Dan juga membuat hati gelisahku menjadi lebih tentram. Terlihat satu dua orang yang berpenampilan rapih menggunakan pakaian sholat yang sebagaimana mestinya melewati depan panti kami. Anak-anak kecilpun tidak mau kalah rapihnya dengan orang dewasa, mereka begitu antusias untuk melaksanakan ibadah. Ya, tidak salah lagi mereka ingin pergi ke masjid yang jaraknya tak jauh dari panti kami. Cukup dengan waktu lima menit saja sudah sampai.
Ku duduk seorang diri di bangku pekarangan depan panti. Tepat di bawah pohon jambu monyet yang selalu menemaniku di kala jiwa ini sunyi dalam kehampaan, sepi dalam kebersamaan. Hanya ini yang bisa aku lakukan sehari-harinya. Menyendiri dari anak-anak panti lainnya. Hanya beberapa teman dekatku saja yang terkadang mengajakku bermain bersama. Yang lainnya tidak, tidak ada rasa peduli sama sekali denganku. Dalam kesendirian aku telah mencoba menepiskan air mata yang ada, di dalam dunia yang terbuat dari batu. Dalam kesendirian aku berjalan menyusuri lembah-lembah yang berwarna-warni, di dalam dunia yang terbuat dari baja. Dalam kesendirian juga kutemukan separuh jiwaku yang hilang.
Bukan karena aku selalu di caci, di maki oleh anak-anak panti lain. Itu sudah biasa bagiku. Bukan juga karena aku selalu diperlakukan kasar, bukan. Tapi aku merasa kurang adanya rasa keadilan disini. Kenapa aku bisa berkata ini tidak adil? Jelas sekali, umurku baru sepuluh tahun. Tergolong anak paling muda yang ada di panti. Anak-anak sebayaku juga tidak ada yang diperlakukan seperti diriku. Apa sih salahku? Sungguh aku tidak mengerti dengan semua ini.
Di panti, aku seperti orang yang terlupakan. Aku ada, tetapi seolah-olah tidak ada. Pernah ketika lebaran, ibu panti belanja baju-baju baru. Semua kebagian, kecuali aku. Sedih sekali. Alasan ibu panti, “Wah, ibu lupa membelikan kamu. Besok aja ya, ibu ke pasar lagi. Janji deh, ibu akan membelikan baju yang paling bagus buat kamu ya sayang.”
Memang sih, ibu panti menepati janji. Tapi kejadian seperti itu bukan hanya sekali melainkan berulang-ulang kali. Anak-anak panti lain selalu dipeluk dengan amat erat, dengan disertai ucapan-ucapan yang cukup membahagiakan. Tapi aku? Hanya diberi pelukan sekilas, lalu dilepas begitu saja. Aku tidak merasakan sensasi apapun kecuali sentuhan fisik yang membuat leherku seperti tercekik. Tentu itu juga merupakan siksaan batin bagiku.
Terkadang aku terbangun di sepertiga malam. Manakala semua penghuni panti masih dalam keadaan berselimut, masih dalam buai tidur lelapnya. Manakala, di waktu tersebut malaikat turun ke bumi untuk mengabulkan doa-doa insan yang terlepas dari gemulai selimutnya. Tidak akan aku sia-siakan waktu tersebut tidak lain untuk bermunajat kepada yang maha kuasa. Yang maha mendengar. Dalam sujudku aku minta pertolongan dari-Nya sebagai hamba yang tidak mampu berbuat banyak. Sujud simpuh diriku sebagai hamba yang lemah. Hanya bisa meminta.
Belum selesai sampai disitu kuhabiskan sepertiga malamku. Seusai sholat, kembali aku menengadahkan kedua tanganku sebagai penghambaan diri kepada-Nya. Dalam doaku aku meminta, “Ya Allah yang maha pengasih, kirimkanlah hamba orang tua yang baik hati yang mau menjadikan hambamu ini sebagai anak angkatnya. Yang bisa menerima atas segala kekurangan hamba. Hamba rela meskipun sebatas anak angkat. Ya Allah yang maha mendengar, hambatau engkau mendengar setiap permintaan hamba-hambamu, oleh karena itu kabulkanlah permintaan hambamu ini, Amiiin. Doaku pendek.
Begitulah sepertiga malamku. Aku isi dengan sholat malam lalu diiringi dengan doa sebagai penutupnya. Karena sholatku adalah penyejuk hatiku, doaku bagaikan seorang teman yang hadir dalam luasnya padang yang gersang, rasa sabar sudah menjadi pakaian dan moral pada diriku, sedangkan kesedihan yang melanda jiwaku sudah kuanggap sebagai sahabat yang tidak bisa dilupakan. Senyum. Itulah yang bisa aku perbuat untuk menjalani beban hidup di dunia ini.
Tidak terasa adzan shubuh kini berkumandang jelas. Tidak terasa juga kutelah meneteskan air mata yang begitu saja mengalir di pipi kanan dan kiri. Lalu aku hapus air mata itu. Aku berdiri bergegas mengambil air wudhu lalu aku tunaikanlah salah satu dari sholat lima waktu. Sholat shubuh.